Senin, 17 September 2012

kompetensi dasar akhlak

A. Pengertian Akhlak
Perkataan Akhlak berasal dari perkataan (al-ahlaaku) ialah kata jama dari pada perkataan perkataan (al-khuluqu) berarti: tabiat, kelakuan , perangai, tingkah laku , matuah, adat kebiasaan, malah ia jubga berarti agama itu sendiri.
Definisi Akhlak menurut istilah ialah: sifat yang tertanam di dalam diri yang dapat mengeluarkan sesuatu perbuatan dengan senang dan mudah tanpa pemikiran, penelitian, dan paksaan.[1]
Allah Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَة
“Sungguh telah ada bagi kalian suri tauladan yang baik pada diri Rasulullah.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sosok yang paling mulia akhlaknya.” (HR. Al-Bukhari no. 6203 dan Muslim no. 2150)
Nabi Solallohu alaihi wasallam bersabda yang maksudnya: “Sesungguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia.” (H.R. Ahmad).
“Orang Mukmin yang paling sempurna imannya, ialah yang paling baik akhlaknya.” (H.R. Ahmad).
Pengertian Akhlak dalam Kamus besar Bahasa Indonesia, akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Dalam bahasa Arab kata Akhlak (akhlaq) diartikan sebagai tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan agama . Meskipun katan akhlak berasal dari Bahasa Arab, tetapi kata akhlak tidak terdapat di dalam al-Qur’an. Kebanyakan kata akhlak dijumpai dalam hadits. Satu-satunya kata yang ditemukan dalam al-Qur’an adalah bentuk tunggal, yaitu khuluq, tercantum dalam surat al-Qalam ayat 4. yaitu:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) betul-betul di atas akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Dalam Tiga pakar dibidang akhlak yaitu Ibnu Miskawaih Al Ghazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu. Akhlak merupakan tolak ukur kesempurnaan iman seorang hamba sebagaimana telah disabdakan oleh rasulullah shalallohu alaihi wasallam: “Orang mu’min yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya.” (H.R. Tirmidzi, dari Abu Hurairah radhiallohu ‘anhu, diriwayatkan juga oleh Ahmad. Dishahihkan oleh Al Bani dalam Ash Shahihah No. 284 da 751.)

B. Induk – induk Akhlak Terpuji dan Induk – induk Akhlak Tercela.
A. Tasamuh
Tasamuh artinya “lapang dada”. Maksudnya adalah menerima sesuatu yang tidak menyenangkan dengan keyakinan, bahwa dibalik sesuatu itu ada hikmah yang mendatangkan kebaikan.[2]
Orang yang memiliki sifat tasamuh manakala mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari orang lain senantiasa dapat menerima dengan lapang dada. Ia tidak marah walaupun dirinya dihina atau dicaci. Sebaliknya tidak sedikit orang yang meluapkan kemarahannya hanya Karena tersinggung dengan ucapan orang lain. Orang seperti itu menganggap bahwa dirinya telah dihinakan dan penghinaan itu tidak dapat diatasinya, kecuali dengan melampiaskan kemarahan.[3]
Perhatian nasihat rasulullah dengan sabdanya:
إن فيك خصلتين يحبهما لله : الحلم والأ ناة.
Artinya:
“sesungguhnya engkau mempunyai dua tabiat dan kekuasaan yamg disukai oleh Allah, yaitu sabar dan ketenangaan”.
Tasamuh atau lapang dada ternasuk akhlak terpuji. Orang yang tidak ada bandingannya dalam hal tasamuh adalah Rasulullah. Dalam menyiarkan agama islam, Rasulullah banyak mengalami cobaan dan rintangan, namun semua itu beliau hadapi dengan lapang dada. Misalnya, ketika Rasulullah dating ke Thaif hendak mengajak penduduk Thaif untuk memeluk agama islam, beliau disambut dengan cacian dan makian. Mereka meneriaki beliau dengan kata-kata yang menghinakan dan menyakitkan. Mereka melempari dengan batu, sampai kedua kaki beliau mengucurkan darah. Sikap kasar penduduk Thaif itu beliau terima dengan penuh kesabaran dan lapang dada, bahkan beliau berdo’a untuk mereka yang Artinya:“Ya Allah,berilah petunjuk kepada kaumku, karena mereka tidak mengerti.”
Dalam kehidupan sehari-hari kejadian yang kita alami, adakalanya menyenangkan, adakalanya menyusahkan. Seringkali kita merencanakan sesuatu, tetapi ada saja ada hambatan yang menyebabkan kita tidak dapat melaksanakan rencana kita itu. Dalam keadaan demikian kita tidak perlu kecewa, tetapi hendaknya kita berlapang dada, karena dibalik hambatan itu tentu Allah sudah merencanakan sesuatu yang lain demi kebaikan kita. Misalnya, kita sudah merencanakan hendak pergi rekreasi, tetapi tiba-tiba kendaraan yang kita gunakan rusak, sehingga kita tidak jadi untuk pergi rekreasi. Ketika kita mengalami hal seperti itu kita harus mengambil hikmahnya. Misalnya, mungkin saja kalau kita pergi juga saat itu, kita akan mengalami kecelakaan.[4]
Di rumah, kampus ataupun di masyarakat mungkin saja terjadi, apabila ada yang menyinggung perasaan kita, semua itu sebaiknya kita hadapi dengan lapang dada. dengan tasammuh atau lapang dada, insyaalah pergaulan kita, di dalam keluarga, di kampus, dan di masyarakat akan senantiasa terpelihara dengan baik.[5]
B. Ta’awun
Ta’awun artinya tolong menolong dalam ajaran islam. Dalam ajaran islamn sikap sifat Ta’awun ini sangat diperhatikan. Ta’awun atau tolong menolong termasuk akhlaq terpuji. Sifat dan sikap ta’awun ini telah dimulai pada awal perkembangan agama islam. dalam sejarah banyak sekali perilaku nabi dan para sahabat, serta kaum muslimin yang berkaitan dengan sikap ta’awun. Kita ketahui, betapa Siti Khadijah dengan harta dan dorongan semangatnya telah menolong perjuangan Rasulullah dalam menyiarkan ajaran islam.
Ketika nabi beserta kaum muslimin hijrah ke madinah, terjalin suasana yang penuh keakraban dan saling menolong antar kaum anshar (penduduk madinah) dengan kaum muhajirin (kaum Muslim yang dating dari makkah).
Firman Allah:
و تعا ونوا على البر و التقوى ولا تعاونوا على الإثم و العدوان.
Artinya:
“ dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kabajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”
Sebagai makhluk sosial, dalam kehidupannya sehari-hari, manusia saling membutuhkan antara sesamanya. Orang yang miskan membutuhkan pertolongan dari orang yang kaya, berupa makanan, uang, materi yang lainnya. Orang yang kaya pun membutuhkan pertolongan dari orang yang miskin berupa jasa, tenaga dan sebagainya.[6]
Menolong orang bukan hanya dengan harta atau materi, tetapi bisa juga dengan tenaga, dengan ilmu, nasihat, dan sebagainya. Biasakanlah untuk bersikap ta’awun, atau saling menolong dari hal-hal yang kecil. Misalnya, meminjamkan pensil atau penghapun kepada yang memerlukan. Menunjukkan alamat kepada orang yang menanyakan alamat kepadamu dan lain sebagainya.
Jika kita sudah terbiasa menerapkan sikap ta’awun ini dalam kehidupan sehari-hari, maka kita akan senantiasa peduli terhadap kesulitan orang lain dan berusaha sedapat mungkin untuk menolongnya. Jika kita suka menolong orang maka kita pun akan ditolong orang. Mungkin orang yang menolong itu adalah orang yang pernah kita tolong, atau mungkin juga orang yang menolong kita adalah orang yang tidak pernah kita tolong atau tidak pernah kita kenal. Sebaliknya jika kita tidak pernah menolong orang, maka kit pun tidak pernah ditolong orang.[7]

C. Ujub
Ujub menurut bahasa adalah keheranan. Sedangkan menurut istilah adalah sikap/ prilaku bermegah diri/berbangga diri. Orang yang yang berprilaku ujub beranggapan bahwa segala kesuksesan yang di raih, seperti harta yang berlimpah, kepandaian yang tidak tertandingi, dan pangkat yang tinggi semata-mata karena hasil usaha serta kehebatan dirinya. Semua itu ia pikir, ia raih tanpa bantuan dari siapapun termasuk Allah. Orang yang bersikap / berprilaku ujub biasanya selalu merasa dirinya besar, selalu benar, tidak pernah salah atau keliru, karenanya tidak bisa menerima kritik orang lain.[8]
D. Takabbur
Takabbur adalah sikap perilaku membesarkan diri dan tidak menerima kebenaran serta memandang kecil atau rendah terhadap orang lain. Dalam bahasa Indonesia perkataan takabur sama dengan sombong. Sikap/perilaku takabur termasuk akhlak tercela dan wajib dijauhi oleh setiap muslim muslimah. Sebagaimana Allah berfirman:




Artinya:“Tidak diragukan lagi, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang takabbur (sombong). (QS. An-Nahl:23)
Sifat sombong dibagi menjadi kesombongan batin dan kesombongan zhahir.[9] Kesombongan batin adalah kesombongan yang terdapat dalam jiwa (hati), sedangkan kesombongan zahir adalah kesombongan yang dilakukan anggota zahir, karena tingkah laku seseorang merupakan akibat dari apa yang terjadi di hatinya. Kesombongan batin akan memaksa anggota tubuh untuk melakukan hal-hal yang bersifat sombong, maka apabila hanya menyimpan di dalam hati tanpa ada tindakan disebut dengan kibr (sifat sombong).
Contoh-contoh perbuatan takabur::mau bergaul dengan orang sederajat, misalkan sama kayanya, pandainya dan kedudukannya, menganggap bahwa perbuatannya itu selalu benar,tidak memperdulikan orang lain,mudah emosi jika pendpatnya tidak diikuti orang lain
Dampak dari perbutan takabur /Orang yang memiliki sifat sombong tidak menyadari bahaya yang dapat di timbulkan dari sifat ini. Rasulullah bersabda :
“Tidak akan masuk surga (memperoleh kebahagiaan) orang yang di dalam hatinya ada kesombongan walaupun sebesar semut”. (HR. Muslim)
Sifat sombong terdapat persoalan, pertama adalah menghilangkan akar penyakit ini. Tetapi pengobatannya adalah dengan ilmu dan amal.[10] Karena penyakit ini tidak mungkin dapat disembuhkan kecuali dengan kedua hal itu. Pengobatan melalui ilmu adalah dengan mengetahui siapa dirinya dan siapa Penciptanya. Sedangkan pengobatan melalui amal adalah dengan membiasakan merendah diri (tawadhu’) terhadap orang lain dan mengikuti akhlak-akhlak orang yang memiliki sifat tawadhu’.
Cara menghindari sikap takabur yaitu : Selalu melihat yang bawah dalam hal dunia,tidak mudah meremehkan orang lain,berkeyakinan bahwa di atas kita ada yang lebih kuasa,berusaha menjadi orang yang lebih bersyukur
E. Malas belajar dan malas bekerja
Malas belajar/bekerja adalah sikap tercela. Karena mempeajari ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan mencari rizki yang halal hukumnya adalah wajib. Sifat malas adalah sifat nafsu yang tidak dapat melihat kemaslahatan kedepan dan keinginannya adalah keenakan sesaat tanpa melihat akibatnya, sehingga walaupun orang itu baik,sukses, tetapi banyak yang gagal karena kemalasan. Oleh karena itu malas belajar dan malas bekerja merupakan prilaku tercela yang mendatangkan kerugian.[11]

C. Macam- macam Metode Peningkatan Kualitas Akhlak
Menurut Al Ghazali, pengembangan pribadi pada hakikatnya adalah perbaikan akhlak, dalam artian menumbuh-kembangkan sifat-sifat terpuji (mahmudah) dan sekaligus menghilangkan sifat-sifat tercela (madzmummah) pada diri seseorang. Akhlak manusia benar-benar dapat diperbaiki, bahkan sangat dianjurkan sesuai sabda Rasulullah SAW “Upayakan akhlak kalian menjadi baik” (Hassinuu akhlaqakum). Al Ghazali menaruh perhatian besar pada masalah akhlak serta mengemukakan berbagai metode perbaikan ahlak. Metode peningkatan ahlak yang beliau ungkapkan dalam berbagai buku beliau dapat dikelompokkan atas tiga jenis metode yang berkaitan satu dengan lainnya yang oleh penulis makalah ini dinamakan:[12]
Metode Taat Syari’at
Metode ini berupa pembenahan diri, yakni membiasakan diri dalam hidup sehari-hari untuk melakukan kebajikan dan hal-hal bermanfaat sesuai dengan ketentuan syari’at, aturan-aturan negara, dan norma-norma kehidupan bermasyarakat. Disamping itu berusaha untuk menjauhi hal-hal yang dilarang syara’ dan aturan-aturan yang berlaku. Metode ini sederhana dan dapat dilakukan oleh siapa saja dalam kehidupan sehari-hari. Hasilnya akan berkembang sikap dan perilaku positif seperti ketaatan pada agama dan norma-norma masyarakat, hidup tenang dan wajar, senang melakukan kebajikan, pandai menyesuaikan diri dan bebas dari permusuhan.
Metode Pengembangan Diri
Metode yang bercorak psiko-edukatif ini didasari oleh kesadaran atas kekuatan dan kelemahan diri yang kemudian melahirkan keinginan untuk meningkatkan sifat-sifat baik dan sekaligus menghilangkan sifat-sifat buruk. Dalam pelaksanaannya dilakukan pula proses pembiasaan (conditioning) seperti pada “Metode Taat Syari’at” ditambah dengan upaya meneladani perbuatan dari pribadi-pribadi yang dikagumi. Membiasakan diri dengan cara hidup seperti ini secara konsisten akan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan dan sifat-sifat terpuji yang terungkap dalam kehidupan pribadi dan kehidupan bermasyarakat. Metode ini sebenarnya mirip dengan metode pertama, hanya saja dilakukan secara lebih sadar, lebih disiplin dan intensif serta lebih personal sifatnya daripada metode pertama.
Metode Kesufian
Metode ini bercorak spiritual-religius dan bertujuan untuk meningkat kan kualitas pribadi mendekati citra Insan Ideal (Kamil). Pelatihan disiplin diri ini menurut Al Ghazali dilakukan melalui dua jalan yakni al-mujaahadah dan al-riyaadhah. Al Mujaahadah adalah usaha sungguh-sungguh untuk menghilangkan segala hambatan pribadi (harta, kemegahan, taklid, maksiat). Al-Riyaadhah adalah latihan mendekatkan diri pada Tuhan dengan selalu berusaha meningkatkan kualitas ibadah. Kegiatan sufistik ini berlangsung dibawah bimbingan seorang Guru yang benar-benar berkualitas dalam hal ilmu, kemampuan dan wewenangnya sebagai Mursyid.
Diantara ketiga metode tersebut, metode kesufian dianggap tertinggi oleh Al Ghazali dalam proses peningkatan derajat keruhanian, khususnya dalam meraih ahlak terpuji.

D. Menerapkan metode – metode Peningkatan Kualitas Akhlak dalam Kehidupan.
1) Metode syari’at
a. Membiasakan diri untuk selalu melakukan kebaikan dan menjauhi yang di larang syara’
b. Menjauhi permusuhan
c. Membiasakan diri untuk menyesuaikan dengan lingkungan
2) Metode pengembangan diri
a. Berupaya meneladani perbuatan-perbuatan terpuji dari pribadi-pribadi yang di kagumi
b. Membiasakan konsisten untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan terpuji dan menghilangkan sifat-sifat tercela yang ada pada diri
c. Berusaha meningkatkan potensi-potensi baik yang ada pada diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
3) Metode kesufian
a. Membiasakan bersifat zuhud
b. Melakukan riyaadhah / mendekatkan diri pada tuhan
c. Meningkatkan kualitas ibadah



[1] Anwar Masy’ari, Akhlak Al-Qur’an, Surabaya : PT Bina Ilmu,1990,1.
[2] AF, Masan, Aqidah Akhlak Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Pada Madrasah,108.
[3] Ibid.
[4] Masan, AF, Aqidah Akhlak ,109.
[5] Ibid.,110.
[6]Masan, AF, Aqidah Akhlak,111.
[7] Ibid.,112.
[8] Tim abdi guru YPM, Aqidqh Akhlak 2,Sidoarjo: Bapengbu YPM,2008,81-82.
[9] Titin Sumarni, Aqidah Akhlak, Pustaka Firdaus Utama : Surakarta, 41-43.
[10] Ibid, 37-39.
[11] Tim abdi guru YPM, Aqidqh Akhlak 2,Sidoarjo: Bapengbu YPM,2008,83.
[12] Imam Al-Ghazali, Pengembangan Pribadi Pada Akhlak.25.
DAFTAR PUSTAKA
AF, Masan, Aqidah Akhlak Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Pada Madrasah,tt.
Al-Ghazali, Imam, Pengembangan Pribadi Pada Akhlak,tt.
Masy’ari , Anwar, Akhlak Al-Qur’an, Surabaya : PT Bina Ilmu,1990.
Sumarni , Titin, Aqidah Akhlak, Pustaka Firdaus Utama : Surakarta, tt.
Tim abdi guru YPM, Aqidqh Akhlak 2,Sidoarjo: Bapengbu YPM,2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar