Minggu, 30 September 2012

Irfan Lelamo starrrrrrr: A. Pengertian Aqidah Akhlak

Nawar Paloh starrrrrrr: A. Pengertian Aqidah Akhlak: 1. Pengertian Aqidah Secara etimologis ( lughat ), aqidah berakar kata dari kata aqada-ya’qidu-aqdan-aqidatan . Aqdan berarti simp...

Sabtu, 29 September 2012

Ahlusunnah Waljamaah

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada era zaman akhir ini bermunculan Aliran-aliran yang beraneka ragam corak dan warnanya. Dimana masing-masing aliran mengklaim bahwa golongan merekalah yang paling benar.
Memang hal ini sudah disabdakan oleh Baginda Rosululloh SAW,bahwa umatnya nanti akan terpecah menjadi 73 golongan. Dan hanya satu yang selamat dan akan masuk syurga.
Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui ciri-ciri golongan yang di janjikan Rosulullah. Agar kita selamat. Atas dasar inilah, saya akan membahas tentang golongan yang setia pada Rosulnya dan sahabatnya yang kita kenal dengan golongan ASWAJA.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
2. Siapakah Aliran-aliran ASWAJA?
3. Apa sajakah Ajaran-ajaran ASWAJA?
4. Apa sajakah doktrin-doktrin ASWAJA?
5. Bagaimana metodologi pemikiran ASWAJA?



BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ahlussunah Wal jama’ah
1. Ditinjau dari ilmu bahasa (lughot/etimologi), Ahlussunah Wal Jama’ah berasal dari kata-kata:
a. Ahlu : Kaum.keluarga atau golongan
b. Assunnah :
1) Ucapan nabi muhammad SAW
2) Tingkah laku, kebiasaan, atau perbuatan nabi muhammad SAW
3) Persetujuan atau slkap nabi muhammad SAW, mendiamkan ucapan atau tingkah laku seseorang pada zaman nabi.
c. Wa : kata sambung yang berarti “dan”
d. Al jama’ah : Kumpulan atau kelompok
2. Di tinjau dari segi istilah ( terminologi), Ahlussunah berasal dari hadits-hadits nabi SAW antara lain:

والذي نفس محمّد بيده لتفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة, فواحدة فى الجنة وثنئان وسبعون فى النار, قيل:من هم يارسول الله ؟قال:هم اهل السنة والجماعة,(رواه الطبرنى)
Demi tuhan yang jiwa Muhammad ada dalam genggamanNya, umatku akan bercerai berai ke dalam 73 Golongan. Yang satu masuk syurga dan yang 72 masuk neraka. Ditanyakan:”siapakah mereka(golongan yang masuk surga itu), wahai Rosulullah?”. Beliau Menjawab: “mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah”,(HR, Thabrani)

تفترق هذه الامة على ثلاث وسبعين فرقة الناجية منها واحدة وا لبلقون هلكى قالو ومن الناجية؟قال اهل السنة والجماعة قيل وما السنة والجماعة ؟قال ماا ناعليه اليوم واصحابي
Umat ini nantinya juga akan terpecah menjadi 73 sekte, satu yang selamat, yang lainnya dalam kerusakan. Sahabat bertanya,Siapa yang selamat?” Nabi menjawab: “Ahlus sunnah Wal Jama’ah”. Mereka bertanya kembali: “siapa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah?” Jawab nabi:”Adalah apa yang aku dan sahabatku praktekkan hari ini”.

Dalam buku lain di jelaskan:”Ahlus sunnah Wal Jama’ah adalah golongan umat islam yang selalu berpegang teguh pada kitab allah ( al-qur’an) dan susunah rosul,serta para sahabat Nabi SAW, Melaksanakan petunjuk dari al-qur’an dan sunah rosul tersebut.[1]
Faham atau aliran ASWAJA dalam bidang:
a. Aqidah Islamiah, mengikuti faham atau madzab dari imam Abul Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi
b. Fiqih, mengikuti salah satu dari madzab yang empat, yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali
c. Tasawuf, mengikuti thariqah dari Imam Abul Qosim Al Junaid Al Baghdadi, Imam Ghozali.
Sehingga apabila di ucapkan secara mutlak kata-kata ASWAJA maka kita tidak dapat menunjuk kecuali orang-orang tersebut di atas.[2]

B. Aliran – aliran ASWAJA
1. Biografi Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan Ali Bin Ismail bin Ishak bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari. Menurut beberapa riwayat, Al- Asy’ari lahir di Bashar pada tahun 260 H/875M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/935M.
Menurut Ibn Asakir, ayah Al-Asyr’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunah dan ahli hadis. Ia wafat ketika Al-Asy’ary masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-saji agar mendidik As-Sy’ary. Ibu As-Asy’Ari, sepeningal ayahnya, menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali Al- Jubba’i ( w. 303 H/915 M), ayah kandung abu Hasyim Al-Jubba’i (w. 321 H/932 M). Berkat didikan ayah tirinya itu, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Ia sering mrngantikan Al- Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah.
Beliau menganut faham mu’tazilah hanya sampai berumur 40 tahun. Setelah itu tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid bashroh bahwa dirinya telah meninggalkan faham mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya,menurut ibn asakir hal itu di latar belakangi karna beliau bermimpi bertemu nabi sebanyak 3 kali, pada malam ke-10, 20,dan 30 dalam bulan romadhon. Dalam mimpinya itu rosulullah memperingatkan agar meninggalkan paham mu’tazilah dan membela faham yang telah di riwayatkan beliau.
Ø Doktrin-doktrin Teologi Al-Asyari
Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang paling terpenting adalah berikut ini:
a) Tuhan dan Sifat-sifatnya
b) Kebebasan dalam berkrhendak
c) Akal dan Wahyu Dan kriteria Baik dan Buruk
d) Qodimnya Al-Qur’an
e) Melihat Allah
f) Keadilan
g) Kedudukan orang yang berdosa[3]
2. Biografi Al-Maturidi
Abu Mansyur al-Maturidi Nama lengkapnya ialah Abu mansur Muhammad bin Muhammadbin Mahmud al-Hanafi al-Mutakallim al-Matu-ridi al-Samarkhandi.[4] Beliau dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang di sebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun 333H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268H. Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakkil yang memerintah tahun 232-274/846-861 M.
Ø Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi
a) Akal dan Wahyu
b) Perbuatan Manusia
c) Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
d) Sifat Tuhan
e) Melihat Tuhan
f) Kalam Tuhan
g) Perbuatan Manusia
h) Pengutusan Rasul
i) Pelaku Dosa Besar[5]
C. Ajaran-ajaran ASWAJA
1. Sifat Tuhan
Menurut mu’tazilah Tuhan tidak mempunyai sifat. Sebab jika tuhan mempunyai sifat, pasti sifat itu kekal seperti tuhan. Berkaitan dengan masalah tuhan Al-Maturidi dan Al-Asy’ari sependapat. Tapi walaupun begitu al-Asy’ari mengartikan sisat tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri. Sedangkan al-Maturidi sifat tidak dikatakan esensiNYA dan bukan pula dari esensi NYA.
2. Melihat Tuhan di akhirat
Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan tidak bisa di lihat.surat al an’am 103. Menurut al Asy’ari manusia dapat melihat tuhan di akhirat sebagaimana arti lahir surat qiyamah 22-23. Al-Maturidi sependapat dengan Beliau. Jalan pikiran Al-Maturidi bahwa melihat Allah itu ihwal di Akhirat, dimana hanya ilmunya yang menentukan bagaimana cara dan keadannya.
3. Perbuatan dosa besar
Bahwa setiap orang mukmin tidak kekal di neraka di sepakati seluruh ulama islam, Menurut kaum mu’tazilah pembuat dasa besar yang tidak sempat bertaubat sebelum meninggal dunia tidak di pandang mukmin tapi tetap muslim. Menurut Maturidi dan Asy’ari hukumnya di serahkan kepada Allah, apakah dia diampuni,mendapat syafa’at nabi atau di siksa sesuai perbuatannya. Dan tidak kekal di neraka.
4. Perbuatan Manusia
Mu’tazilah bahwa manusi itulah yangmenciptakan perbuatannya sendiri, dan bebas memilih yang baik dan yang buruk, karana segala sesuatunya akan di tanggung sendiri. Asy’ari manusia dalam kelemahannya bergantung pada kehendak dan kekuasaan tuhan. Maturidi sependapat dengan asy’ari.
5. Perbuatan Allah
Orang-orang Asy’ariyah berpendapat bahwa Allah tidak di ketahuinya. Karna ia tidak bertanggung jawa terhadap apa yang di perbuatnya. Sedangkan manusia bertanggung jawab.Mu’tazilah, Allah berbuat karna ada tujuan maksud tertentu. Maturidi Allah itu suci (munazzah) dari sia-sia. Dan karna itu perbuatannya sesuai dengan tuntutan hikmah.
6. Al-Qur’an
Mu’tazilah mengingkari adanya sifat bagi Allah yang namanya kalam, yang bebas dari dzat atau bukan dzat. Asy’ari bahwa al-Qur’an tidak berubah, tidak di ciptakan, bukan makhluk dan tidak baharu. Maturidi, Kalamullah itu adalah makna yang melekat pada dzat Allah, dan karna itu ia adalah salah satu sifat yang brhubungan dengan dzatnya.
7. Kekuasaan mutlak tuhan dan keadilan tuhan[6]
D. Garis-garis Besar Doktrin ASWAJA
Bahwa ajaran islam itu terdiri dari 3 macam :
1. Doktrin keislaman, yang digunakan untuk membimbing manusia selaku makhluk yang mempunyai nafsu
2. Doktrin keimanan, yang digunakan manusia untuk membimbing manusia selaku makhluk yang mempunyai akal pikiran
3. Doktrin keihsanan, yang digunakan untuk mmbimbing manusia selaku makhluk yang mempunyai budi pekerti /hati nurani
Ke-3 ajaran islam tersebut di namakan fitrah munazaah,sedangkan nafsu,fikiran dan hati nurani di namakan fitrah mukhalaqoh.

E. Metodologi Pemikiran (Manhaj Al-fikr) ASWAJA
Jika kita mencermati doktrin-diktrin paham ASWAJA, baik dalam aqidah(iman), Syari’at(islam), ataupun Akhlak (ihsan), maka bisa di dapati sebuah metodologo islam di antaranya:
1. Tasawuth (moderat)
Taswuth adalah sikap tengah yang tidak cenderung ke kanan atau ke kiri dan mengambil solusi yang paling baik. Hal ni di dsarkan pada firman Allah:


2. Tawazun (berimbang)
Tawazun adalah sikap berimbang dan harmons dalam mengintegrasikan dan mensinergikan dalil- dalil (pijakan hukum) pertimbangan – pertimbangan untuk memutuskan sebuah keputusan dan kebijakan prinsip menhindari yang serba kanan dan kiri. Seperti firman Allah:


3. Ta’adul ( netral dan adil)
Adalah sikap adil dan netral dalam melihat /menimbang, menyikapi dan menyesesaikan segala permasalahan. Apbala dalam realitasnya terjadi tafdlul (keungulan) maka keadilan mununtut perbedan dan pengutamaan (tafdllil)
ياايّهااّلذين أمنواكونواقوّامِين للّه شهداء باالقسط ولا يحرمنّكم شنأن قومٍ عَلَى اَلاَّ تعِدلوا اعدلوا هواَقْرب للتَّقوى
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan ( kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karna adil itu lebih dekat kepada taqwa.(Al-Maidah:9)

4. Tasamuh
Sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan, perbedaan dan keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, suku, bangsa, agama, tradisi budaya dll.
ياَايّهاَالنَّاس انّا خلقنا كم من ذَكرٍوَاُنثَى وجعلناَكُم شُعُوبًا وقبَائلُ لِتَعَارفُوا انّ أكرمكم عِند اللهِ اتقَاكُم,
Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.(QS. Alhujurat:13)
F. Tujuan ASWAJA
1. Mengamalkan Ajaran Rosulullah SAW semurni-murninya.
2. Mengikuti jejak para sahabat dalam mengambil keputusan-keputusan suatu perkarayang tidak di temukan dalam Al-qur’an dan Al-hadits.
3. Mengedepankan Akhlaul karimah dalam setiap tindakannya.
4. Khusus untuk golongan ASWAJA di Indonesia, ingin menjadikan bangsa indonesia, bangsa yang bermaartabat di mata dunia juga di hadapan Allah SWT
5. Ingin menjadi khairul ummah dalam ridho Allah SWT



BAB III
KESIMPULAN
A. Pengertian ASWAJA
Ahlus sunnah Wal Jama’ah adalah golongan umat islam yang selalu berpegang teguh pada kitab allah ( al-qur’an) dan susunah rosul,serta para sahabat Nabi SAW, Melaksanakan petunjuk dari al-qur’an dan sunah rosul tersebut.
B. Aliran-aliran ASWAJA:aliran Al-Asy’ariyah dan Al-Maturidi
C. Ajaran ASWAJA:Sifat Tuhan, Melihat Tuhan Di akhirat, Perbuatan dosa, besar, Perbuatan manusia,Perbuatan Allah, dll
D. Doktrin ASWAJA: Doktrin Keislaman, keihsanan dan ke imanan.
E. Metodologi pemikiran ASWAJA;Tasawuth, Tawazun, Ta’adul’ Tasamuh.
F. Tujuannya untuk mengamalkan Ajaran Rosulullah dan mengikuti jejak para sahabat serta menjadi khoirul umah dalam ridho allah SWT


DAFTAR PUSTAKA

Masduki ach.K.H. Drs, konsep dasar pengertian Ahlus sunnah Wal Jama’ah, Pelita Dunia, surabaya.
Purna siswa Aliyah, Aliran-aliran Teologi islam, Ponpes lirboyo, kediri,2008.
Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung,2007.
Baehaqi Imam, Kontroversi ASWAJA, LkiS, Yogyakarta,2000.

[1] Purna siswa Aliyah, Aliran-aliran Teologi Islam (jawa timur:Maddrasah hidayatul Mubtadi’in 2008), 165
[2] K.H. Masduki ach, Konsep Dasar Pengertian Ahlus sunnah Wal Jama’ah, 38-39
[3] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung:CV Pustaka Setia,2007),120-124
[4] Imam Baehaqi, Kontroversi Aswaja, (Yogyakarta:Gambiran UHV,2000),70
[5] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, 124-131
[6] Imam Baehaqi, Kontroversi Aswaja, (Yogyakarta:Gambiran UHV,2000),

Selasa, 18 September 2012

tujuan pendidikan islam nawar paloh

BAB I

PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan bagi manuasia merupakan suatu hal yang penting untuk kelanjutan eksistensinya dan untuk mempertahankan hidupnya. Manusia berpacu dengan waktu atau masa dan waktu itu ditentukan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu Allah SWT membekali manusia dengan ilmu pengetahuan agar dapat mengatur dan mengolah bumi untuk kepentingan seluruh umat manusia. Ilmu pengetahuan itu dijadikan sebagai salah satu modal dasar untuk mengolah sumber daya alam, agar manusia dapat lebih mengembangkan potensinya dalam mengenal dan mengabdikan dirinya kepada Alloh SWT.

Manusia yang dibina adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan imaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan etika, sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan keterampilan.

Untuk lebih jelasnya berikut ini kami akan menguraikan dari mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam. dengan pembahasan Tujuan Ilmu Pendidikan Islam. Demikianlah makalah ini kami buat dan sekiranya ada kekurangan yang terdapat dalam makalah ini kami mohon ma'af dan kami siap menerima kritikan sehat yang sifatnya membangun terutama dari Bapak/ Ibu Dosen dan kepada sahabat-sahabati yang membaca makalah ini. Kami berharap setelah membaca makalah yang sederhana ini kita dapat memetik ilmu dan menambah wawasan kita semua.



BAB II
PEMBAHASAN




Membahas masalah pendidikan tidak akan terlepas dari pengertian pendidikan secara umum sehingga akan diperoleh batasan-batasan pengertian pedidikan Islam secara lebih jelas.Menurut Hasan Langgulung, pengertian pendidikan itu dapat ditinjau dari dua segi, yaitu dari sudut pandangan masyarakat dan dari segi pandangan individu.

Masyarakat memandang pendidikan sebagai pewarisan kebudayaan atau nilai-nilai budaya baik yang bersifat ketrampilan, keahlian dari generasi tua kepada generasi muda agar masyarakat tersebut dapat memelihara kelangsungan hidupnya atau tetap memelihara kepribadiannya. Dari segi pandangan individu pendidikan berarti upaya pengembangan potensi-potensi yang dimiliki individu yang masih terpendam agar dapat teraktualisasi secara konkrit, sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh individu dan masyarakat.

Pada prinsipnya tujuan pendidikan Islam haruslah selaras dengan tujuan risalah Islam, sejalan dengan tujuan syari'at Islam. Karena itu tujuan pendidikan Islam harus bersifat universal dan selalu aktual dengan segala zaman, sebagaimana selalu aktualnya ajaran Islam, sehingga tujuan syari'at Islam yang hendak mewujudkan rahmatan li al-alamin benar-benar dapat direalisasikan.

Konsep pendidikan Islam pada dasarnya berusaha mewujudkan manusia yang baik atau manusia universal (insan kamil) yakni sesuai dengan fungsi diciptakannya manusia dimana ia membawa dua misi, yaitu: pertama sebagai 'abdulloh (hamba Alloh) dan kedua, khalifatulloh fil ardl (wakil Alloh di muka bumi).




Tujuan Pendidikan Islam

Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mencapai suatu tujuan, tujuan pendidikan akan menentukan kearah mana peserta didik akan dibawa. Tujuan pendidikan Islam secara umum adalah untuk mencapai tujuan hidup muslim, yakni menumbuhkan kesadaran manusia sebagai makhluk Allah SWT agar mereka tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang berakhlak mulia dan beribadah kepada-Nya.

Tujuan pendidikan Islam adalah "suatu istilah untuk mencari fadilah, kurikulum pendidikan islam berintikan akhlak yang mulia dan mendidik jiwa manusia berkelakuan dalam hidupnya sesuai dengan sifat-sifat kemanusiaan yakni kedudukan yang mulia yang diberikan Allah Smelebihi makhluk-makhluk lain dan dia diangkat sebagai khalifah.

Menurut Zakiah Daradjat Tujuan ialah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai. Tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang berbentuk tetap dan statis, tetapi ia merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang, berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya, yaitu kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi "insan kamil" dengan pola taqwa. Insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup berkembang secara wajar dan normal karena taqwanya kepada Allah SWT.

Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling utama ialah beribadah dan taqarrub kepada Allah, dan kesempurnaan insani yang tujuannya kebahagiaan dunia akhirat.

Sedangkan Mahmud Yunus mengatakan bahwa tujuan pendidikan agama adalah mendidik anak-anak, pemuda-pemudi maupun orang dewasa supaya menjadi seorang muslim sejati, beriman teguh, beramal saleh dan berakhlak mulia, sehingga ia menjadi salah seorang masyarakat yang sanggup hidup di atas kakinya sendiri, mengabdi kepada Allah dan berbakti kepada bangsa dan tanah airnya, bahkan sesama umat manusia.

Adapun Muhammad Athiyah Al-Abrasy merumuskan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah mencapai akhlak yang sempurna. Pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, dengan mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhilah (keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya ikhlas dan jujur. Maka tujuan pokok dan terutama dari pendidikan Islam ialah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa.




Tujuan Pendidikan Islam Memiliki Ciri-Ciri Sebagai Berikut:

Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan dimuka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengolah bumi sesuai dengan kehendak Tuhan.

Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya dimuka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.

Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya.

Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang semua ini dapat digunakan guna mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya.

Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup didunia dan diakhirat.

Tujuan pendidikan Islam adalah membina dan memupuk akhlakul karimah. sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:


عن ابي هر يرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : اِنَّمَا بُعِثْتُ لِاُ تَمِمَ مَكَا رِ مَ الْاَخْلاَقْ

Dari Abu Hurairah Radliyallahu 'Anhu (semoga Allah meridlainya) ia berkata, bahwa Rasulallah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah bersabda: "Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak (manusia).

Menurut Muhammad Athiyah Al-Abrasy dalam Kitab Al Tarbiyah Al Islamiyah wa Falaasifatuha merumuskan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah mencapai akhlak yang sempurna. Pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, dengan mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhilah (keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya ikhlas dan jujur. Maka tujuan pokok dan terutama dari pendidikan Islam ialah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa.




Prinsip-Prinsip Dalam Formulasi Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan pendidikan islam mempunyai prinsip-prinsip tertentu guna menghantar tercapainya tujuan pendidikan. Prinsip itu adalah:

Prinsip universal (syumuliyah). Prinsip yang memandang keseluruh aspek agama ( aqidah, ibadah dan ahklak, serta muamalah), manusia ( jasmani, rohani, dan nafsani), masyarakat dan tatanan kehidupannya, serta adanya wujud jagat raya dan hidup.

Prinsip keseimbangan dan kesederhanaan (tawazun qaiatishadiyah) prinsip ini adalah keseimbangan antara berbagai aspek kehidupan pada pribadi, berbagai kebutuhan individu serta tuntunan pemeliharaan kebudayaan, social, ekonomi, dan politik untuk menyelesaikan semua masalah dalam menghadapi tuntutan masa depan.

Prinsip kejelasan (tabayun) prinsip yang didalamnya terdapat ajaran dan hokum yang member kejelasan terhadap kejiwaan manusia.

Prinsip tak bertentangan. Prinsip yang didalamnya terdapat ketiadaan pertentangan berbagai unsure dan cara pelaksanaannya sehingga antara satu komponen dengan komponen yang lain saling mendukung.

Prinsip realisme dan dapat dilaksanakan.

Prinsip perubahan yang di ingini.

Prinsip menjaga perbedaan-perbedaan individu.

Prinsip dinamis dalam menerima perubahan dan perkembangan yang terjadi pelaku pendidikan serta lingkungan dimana pendidikan itu dilaksanakan.



Formulasi Tujuan Pendidikan Islam

Upaya dalam mencapai tujuan pendidikan harus dilaksanankan dengan semaksimal mungkin, walaupun pada kenyataannya manusia tidak mungkin menemukan kesempurnaan dalam berbagai hal.

Abd al-rahman shaleh abd allah menyatakan tujuan pendidikan islam dapat diklarisifikasikan menjadi empat dimensi, yaitu:

Tujuan pendidikan jasmani

Mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas kholifah dibumi, melalui ketrampilan-ktrampilan fisik

Tujuan pendidikan rohani

Meningkatkan jiwa dari kesetiaan yang hanya kepada allah SWT semata dan melaksanakan moralitas yang ditaladani oleh Nabi SAW.

Tijuan pendidikan akal

Pengarahan inteligensi untuk menemukan kebenaran sebab-sebabnya dengan talaah tanda-tanda kekuasaan allah dan menemukan pesan-pesan ayatnya yang berimplikasi kepada peningkatan iman kepada sang pencipta.

Tujuan pendidikan sosial.

Tujuan pendidikan sosial adalah pembentukan kepribadian yang utuh yang menjadi bagian komonitas sosial.

Rumusan tujuan pendidikan islam yang dihasilkan dari seminar pendidikan islam sedunia tahun 1980 di Islamabad yang menyatakan pendidikan seharusnya bertujuan mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara total melalui pelatihan spiritual, kecerdasan, rasio, perasaan dan panca indra. Oleh karna itu pendidikan seharusnya pelayanan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiecara kolektifah,n s linguistic, baik secara individu maupun secara kolektif dan memotivasi semua aspek tersebut kearah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan.



BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas, maka dapat penulis simpulkan bahwa tujuan pendidikan islam pada intinya adalah : Terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah. Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah SWT. Dan mengantarkan anak didik menjadi kholifah di bumi guna mencapai kebahagian dunia dan akherat.

Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mencapai suatu tujuan, tujuan pendidikan akan menentukan kearah mana peserta didik akan dibawa. Tujuan pendidikan Islam secara umum adalah untuk mencapai tujuan hidup muslim, yakni menumbuhkan kesadaran manusia sebagai makhluk Allah SWT agar mereka tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang berakhlak mulia dan beribadah kepada-Nya.

Pendidikan Islam adalah usaha merubah tingkah laku individu didalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitar melalui proses pendidikan.

Tujuan pendidikan Islam adalah "suatu istilah untuk mencari fadilah, kurikulum pendidikan islam berintikan akhlak yang mulia dan mendidik jiwa manusia berkelakuan dalam hidupnya sesuai dengan sifat-sifat kemanusiaan yakni kedudukan yang mulia yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala melebihi makhluk-makhluk lain dan dia diangkat sebagai khalifah.

Demikianlah makalah ini penulis sampaikan, dengan segala keterbatasan tentunya jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kepada kawan-kawan untuk sharing dalam masalah ini.

DAFTAR PUSTAKA


http://dharwanto.blogspot.com/2011/08/tujuan-pendidikan-islam.html

http://www.al-imancommunity.com/2011/04/tujuan-pendidikan-islam.html

http://topiknugroho.wordpress.com/2011/05/03/dasar-fungsi-dan-tujuan-pendidikan-islam.html

Mujib Abdul. 2006.Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta. Kencana Prenada Media.

Senin, 17 September 2012

tafsir ahkam tentang keadilan surah an-nisa' ayat 58 dan 135 dan surah Al-Maidah 42

Tafsir Ayat-Ayat tentang Keadilan di Peradilan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pergaulan antar manusia tentunya pasti menimbulkan sebuah masalah. Ibarat kata lidah saja tergigit apatah lagi suami istri. Begitu juga suami istri saja ada masalah, apatah lagi antar masyarakat yang tidak ada hubungan tali kasih, tentunya dengan mudah wujudnya sebuah permasalahan.
Fenomena ini sejak dulu memiliki jalan keluar, yaitu penyelesaian secara hukum. Dalam sejarah, penetapan sebuah ketentuan hukum adalah melalui peradilan, sama ada bentuknya itu secara formal seperti di peradilan yang diiktiraf negara, maupun peradilan non formal seperti mediasi maupun abritase.
Penyelesaian secara hukum ini tentunya harus berdasarkan keadilan. Lebih-lebih lagi adil merupakan hak azazi manusia. Bukan hanya filsafat modern yang menetapkan itu, akan tetapi banyak sekali ayat dalam Alquran – sebagai sumber utama muslim – mewajibkan menghukumi sesuatu perkara harus dengan adil.
Pemahaman adil dalam menghukumi ini tentunya memerlukan pentafsiran yang valid, karena batasan adil sendiri masih sangat umum dan terdapat banyak versi. Hanya dengan meneliti tafsir ahkam bagi ayat-ayat tentang adil sahaja yang dapat menghasilkan konsep menghukumi dengan adil dalam Islam.
B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat banyak ayat tentang adil yang ditemukan oleh penulis dalam Alquran. Setelah dibaca setiap satunya, maka penulis memfokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Menyampaikan amanat dan menghukum dengan adil.
2. Perlakuan sama di dalam peradilan dan persaksian.
3. Keadilan tidak hanya bagi orang Islam.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Menyampaikan Amanat dan Menghukum dengan Adil
Allah SWT berfirman dalam surah al-Nisâ` ayat 58 sebagai berikut:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Terjemahan: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
Sebuah riwayat yang menceritakan ayat tentang memberikan amanat dan hak kepada yang berhak serta menghukum dengan adil ini adalah sebuah kisah ketika terjadinya pembukaan kota Mekkah. Ketika itu, penjaga ka’bah adalah ‘Utsmân bin ‘Abd al-Dâr. Beliau mengunci ka’bah. Maka ‘Abbâs mengambil dengan paksa kunci tersebut. Lalu Rasulullah mengutus ‘Alî RA untuk meminta ‘Abbâs mengembalikan kunci tersebut dan meminta maaf kepada ‘Utsmân bin ‘Abd al-Dâr. Setelah itu, ‘Alî RA pun menceritakan pada ‘Utsmân bin ‘Abd al-Dâr bahwa ayat ini diturunkan kepadanya. Maka ‘Utsmân bin ‘Abd al-Dâr pun memeluk Islam.[1]
Walaupun ayat ini diturunkan oleh sebab yang tertentu, akan tetapi ayat ini tetap berlaku secara umum dan bukan hanya tertakluk pada sebab kisah ini. Ini dikarenakan oleh sebuah kaedah dalam ‘ulûm al-Qur`ân yang berbunyi “العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب”.[2]
Perintah awal dari ayat ini adalah supaya menjalani amanat dengan memberikannya kepada ahlinya bagi setiap muslimin. Sama ada hak bagi dirinya sendiri maupun hak bagi orang lain serta hak Allah secara umum.[3]
Contoh menjaga amanah dalam hak Allah adalah seperti mematuhi perintahnya dan menjauhi larangannya. Menjaga amanah bagi hak manusia itu sendiri adalah seperti tidak melakukan kecuali apa yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat. Sedangkan menjaga amanah bagi orang lain adalah seperti tidak menipu ketika bermuamalat, berjihad, dan nasihat.[4]
Setelah menetapkan amanah, maka datanglah giliran menghukumi dengan adil diantara manusia. Dalam firman Allah yang berbunyi “حَكَمْتُمْ” adalah merupakan fi’il mâdli yang bertemu dengan dlamîr muttashil “أنتم”. Ia memiliki arti “القضاء” yaitu menghukumi. Asal usulnya bermakna “المنع” yaitu mencegah. Contohnya: “حكمت عليه بكذا إذا منعته مِنْ خِلَافِهِ فَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْخُرُوجِ مِنْ ذَلِكَ وَحَكَمْتُ بَيْنَ الْقَوْمِ فَصَلْتُ بَيْنَهُمْ فَأَنَا حَاكِمٌ” yang berarti: “aku menghukum terhadapnya begini ketika akau menghalangnya dari melakukan sebaliknya, maka dia tidak mampu melakukan selain itu. Dan aku menghukum di antara kaum yaitu memutuskan di antara mereka maka aku adalah seorang hakim”.[5]
Secara istilah, kata menghukumi atau dalam bahasa Arab yang lebih dikenali dengan kata “القضاء” itu adalah memisah pertengkarang/persengketaan dan menghilangkan perselisihan. Ia adalah dituntut dalam Islam berdasarkan firman Allah “إنا أنزلنا إليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما أراك الله”.[6]
Menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaylî, bahwa kata “adil” di dalam ayat ini adalah “إيصال الحق إلى صاحبه من أقرب طريق” yaitu “memberikan hak kepada pemiliknya dengan jalan yang terdekat”.[7]
Keadilan adalah merupkan asas kepimpinan. Ia adalah asal dari dasar-dasar hukum di dalam Islam. Wajib ada bagi masyarakat sosial agar yang lemah dapat mengambil haknya. Yang kuat tidak merampas dari yang lemah. Terlestarilah keamanan. Seluruh syariat yang datang dari Allah (seperti agama Yahudi dan Nasrani) itu mewajibkan mendirikan keadilan. Maka dari itu, wajib bagi hakim dan perangkat pemerintahan melestarikan keadilan sehingga hak-hak tersentuh ahlinya.[8]
Dalam membahas tentang adil ini, Alquran menyebutkannya di lebih dari satu tempat. Seperti contoh Surah al-Nahl ayat 90 yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُون
Terjemahan: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Kata adil menurut `Ibn ‘Athiyyah: “telah berkata al-Qâdlî `Abû Muhammad: Adil adalah melakukan segala perkara yang difardukan dari segi akidah dan syariat, kehidupan sesama manusia di dalam melaksanakan amanat dan meninggalkan kezaliman, memberikan sesuatu yang hak”.[9]
B. Perlakuan Sama di Dalam Peradilan dan Persaksian
Allah SWT berfirman dalam surah al-Nisâ` ayat 135 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Terjemahan: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Sebab turunya ayat ini ditakhrîj `Ibn Jarîr dari al-Sadiyyi. Ketika ayat ini diturunkan, terdapat dua orang lelaki yang sedang bersengketa yaitu satu kaya dan satu fakir. Sedangkan Nabi Muhammad SAW menyebelahi yang fakir, dengan pandangan orang fakir tidak mungkin menzalimi yang kaya. Maka Allah enggan menerimanya kecuali menegakkan keadilan dalam arti seimbang di antara yang kaya dan fakir.[10]
Dalam ayat ini, kata adil digunakan dengan kata “القسط” yang secara bahasa memiliki arti adil, seimbang, tengah-tengah di dalam segala perkara.[11] Ini sama seperti yang terdapat di dalam surah al-`A’râf ayat 29:
قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ كَمَا بَدَأَكُمْ تَعُودُونَ
Terjemahan: Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)".
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT memerintah hambanya yang mukmin agar menjadi orang yang benar-benar menegakkan keadilan. Dalam hal, keadilan yang dimaksud Allah SWT adalah seimbang dengan tidak condong ke kanan atau ke kiri.[12]
Menurut Wahbah al-Zuhaylî, bahwa ayat ini menegaskan dua hal:[13]
1. Penekanan untuk sangat-sangat di dalam menegakkan keadilan dan membantu, bukan menyulitkan atau berpaling di dalam peradilan. Dalam hal ini, keadilan dalam Islam tidak hanya diperuntukan bagi orang muslim, tapi juga non muslim.
2. Seumpama dalam peradilan hakim harus bersikap adil, maka persaksian juga harus dengan yang hak walau terhadap diri sendiri, orang tua atau kerabat. Ini dikarenakan hak itu unggul dan tidak diungguli oleh yang lain.
Ulama fiqh menuturkan beberapa perkara yang berkaitan dengan syahadah bagi orang tua atau terhadap orang tua. Mereka berkata tidak ada khilaf di dalam persaksian seorang anak terhadap orang tua. Perkara ini jelas diperbolehkan (diterima). Walaupun persaksian itu merugikan orang tua, tidak lain ini demi kebaikan mereka. Ini senada dengan ayat “قوا أنفسكم وأهليكم نارا”[14].[15]
Sedangkan persaksian kedua orang tua terhadap anak, ini terjadi perbedaan pendapat. Menurut al-Zuhrî, ulama salaf soleh memperkenan persaksian seperti ini. Ini berdasarkan ayat “كونوا قوامين بالقسط شهدآء لله”. Lalu jelaslah dari manusia beberapa perkara yang memungkinkan terjadi penuduhan. Maka persaksian tuduhan itu harus ditinggal. Oleh karena itu tidak diperbolehkan untuk persaksian anak, kedua orang tua, saudara, suami-istri. Ini adalah mazhab al-Hasan, al-Nakha’î, al-Sya’bî, Syuraih, Mâlik, al-Tsaurî, al-Syâfi’î, `Ibn Hanbal, `Abî Hanîfah, dan murid-muridnya.[16]
Sebagian kaum membenarkan persaksian setengah dari mereka terhadap setengah yang lain ketika mereka itu adil. Ini diriwayatkan oleh ‘Umar bin al-Khathâb dam ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azîz, juga ditegaskan `Ishâq dan al-Muzanni. Imam al-Syâfi’I membenarkan persaksian kedua mereka karena mereka berdua adalah orang lain (أجنبي).[17]
Terdapat sebuah hadis riwayat Abû Daud seperti berikut:
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَاشِدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَدَّ شَهَادَةَ الْخَائِنِ وَالْخَائِنَةِ وَذِي الْغِمْرِ عَلَى أَخِيهِ وَرَدَّ شَهَادَةَ الْقَانِعِ لِأَهْلِ الْبَيْتِ وَأَجَازَهَا لِغَيْرِهِمْ.
Hadis ini adalah hujjah bagi orang yang memperbolehkan kesaksiannya ayah pada anaknya karena dia menarik kemanfaatan dengan kesaksiannya. Ini dikarenakan sudah wataknya ayah cinta pada anaknya dan condong padanya.[18]
Selain dari surah al-Nisâ` ayat 138 ini, Surah al-Mâ`idah ayat 8[19], Surah al-Hujjarât ayat 9[20] juga memiliki tafsiran yang sama.
Menurut catatan Imam Fakhr al-Dîn al-Râzî; Imam al-Syafi’i berkata tentang persamaan hak dalam peradilan:[21]
ينبغي للقاضي أن يسوي بين الخصمين في خمسة أشياء : في الدخول عليه ، والجلوس بين يديه ، والاقبال عليهما ، والاستماع منهما ، والحكم عليهما
Terjemahan: Sebaiknya bagi hakim itu memberi persamaan di antara kedua orang yang berperkara dalam lima hal, yaitu dalam masuk ke hadapannya, duduk di hadapannya, menerima keduanya, mendengar dari keduanya, dan menghukumi keduanya.
Imam Fakhr al-Dîn al-Râzî menegaskan inilah yang dimaksud dari firman Allah SWT “وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل”.[22]
C. Keadilan Tidak Hanya Bagi Orang Islam
Allah SWT berfirman dalam Surah al-Mâ`idah ayat 42 sebagai berikut:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Terjemahan: Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.
Sebab turunnya ayat ini adalah terhadap orang Yahudi. Adanya hakim dari kalangan Yahudi ketika didatangi orang yang batil di dalam dakwaannya disebabkan suap maka hakim itu tetap mendengarkan ucapan orang tersebut, dan percaya terhadapnya. Hakim itu tidak berpaling dari pertikaiannya. Maka hakim ini memakan barang haram dan mendengarkan sebuah penipuan. Dan adanya ahli fakir dari orang Yahudi itu mengambil dari orang kaya Yahudi harta supaya menegakkan pada apa yang mereka mau bagi golongan Yahudi. Mereka mendengarkan dari orang kaya Yahudi itu penipuan-penipuan demi melariskan pemahaman Yahudi dan mencacatkan Islam. Ahli fakir itu memakan uang haram yang mereka ambil dari mereka. Mereka mendengarkan penipuan. Inilah yang ditunjukkan dengan firman Allah “سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ”. Ada suatu pendapat bahwa ia dinisbatkan kepada mereka yang berpegangan pada Taurat yang membuat mereka memakan riba sebagaimana firman Allah SWT: “وأخذهم الربوا وقد نهوا عنه”.[23]
Menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaylî; ayat ini menunjukkan kaum Yahudi menghukumi Nabi Muhammad SAW, kemudian Nabi menghukumi mereka dengan apa yang ada di dalam kitab Taurat. Maka ketika ada “أهل الذمة” mengangkat permasalahan kepada imam, maka jika yang mereka angkat itu berupa kezaliman seperti membunuh dan lain-lain yang berhubungan dengan tindak pidana, maka imam harus menghukumi di antara mereka dan melarang mereka menghukumi sendiri tanpa ada perbedaan pendapat ulama.[24]
Seumpama bukan berupa tindak pidana, maka imam diperkenankan memilih sama ada menghukumi atau tidak menurut Imam Malik dan Imam al-Syafi’i. ini berdasarkan ayat “فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ”. Menurut Imam al-Syafi’I tidak boleh menghukumi mereka bagi masalah hudud. Sedangkan menurut Abû Hanîfah tetap menghukumi mereka dalam keadaan apa pun itu. ini berdasarkan ayat “وأن احكم بينهم بما أنزل الله”[25].[26]
Ayat ini juga menegaskan bolehnya proses abritase (tahkîm) di dalam Islam. Menurut Imam al-Syafi’I, abritase itu boleh, akan tetapi ia tidak tetap. Hanya saja ia adalah fatwa. Ini dikarenakan orang yang abritase tidak mengajukan perkara mereka ke pemimpin atau para hakim. Mereka juga tidak mengambil kekuasaan hukum.[27]
Selain dari itu, ayat “سمعون للكذب أكلون للسحت” ini menunjukkan banyaknya orang Yahudi mendengarkan kebohongan, dan banyaknya mereka makan harta haram seperti suap dalam peradilan, mendengar ahli dukun, dan lain-lain yang telah disebutkan.[28]
Suap diharamkan dalam hal apapun. Suap kadang terjadi di dalam menghukum dan peradilan. Ia diharamkan bagi yang menyuap juga yang disuap. Nabi Muhammad SAW bersabda:
لعن الله الراشي والمرتشي والرائش الذي يمشي بينهما – رواه أحمد في مسنده عن ثوبان وهو حديث صحيح .
Apabila hakim – yang disuap – seumpama menghukum terhadap penyuap dengan apa yang hak, maka ia adalah fasiq, karena menerima suap untuk menghukumi sesuai yang diingini. Seumpama dia sampai menghukum dengan kebatilan, maka ia adalah fasiq juga, dikarenakan dia mengambil suap dan menghukum dengan kebatilan.[29]
Suap juga kadangkala terjadi pada selain menghukumi dan peradilan, semisal seseorang menyuap hakim agar dia menghilangkan kezaliman yang terjadi terhadapnya. Maka suap ini adalah yang diharamkan terhadap penerimanya dan tidak diharamkan terhadap pemberinya, seperti apa yang dikatakan hasan: “لا بأس أن يدفع الرجل من ماله ما يصون به عرضه”. Ketika adanya `Ibn Mas’ûd berada di Etopia, beliau menyuap dengan dua dinar lalu berkata: “dosa hanya terhadap penerima bukan pemberi”.[30]

BAB III
KESIMPULAN
Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1. Allah memerintahkan untuk melaksanakan amanat kepada yang berhak menerimanya. Dalam hal ini adalah semisal memberikan perlindungan hukum terdapat yang memintanya. Dalam menghukum, haruslah dengan keadilan. Adil di sini memiliki banyak arti, bisa berupa memberikan sesuatu yang hak terhadap yang berhak memilikinya. Bisa juga berarti seimbang antara dua orang.
2. Dalam berperadilan, Islam menuntut untuk terjadi keadilan di antara kedua orang yang berperkara. Keadilan ini adalah bermakna kedua mereka sama ada kaya atau miskin, kuat atau lemah haruslah tetap diperlakukan sama tanpa melihat siapa mereka. Ini ditetapkan walaupun terhadap orang yang lemah sekalipun.
3. Dalam Islam, peradilan bukan hanya diperuntuk bagi orang Islam. Ia juga haruslah diberikan bagi orang non Islam. Dalam hal cara menghukumi Islam menentukan ia tetap memakai hukum mereka. Akan tetapi, ini hanya terbatas pada hukum perdata bukan pidana, menurut mazhab Imam al-Syafi’i.

DAFTAR PUSAKA
‘Athiyyah, ‘Abd al-Haqq bin. al-Muharrir al-Wajîz. Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2002.
al-Fayûmî, Ahmad bin Muhammad bin ‘Alî. Al-Mishbâh al-Munîr fî Gharîb al-Syarh al-Kabîr. Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t..
al-Jauzî, Ibn al-Qayyim. Zâd al-Masîr fî ‘Ilm al-Tafsîr. Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2002.
Katsîr, `Ismâ’îl bin ‘Umar bin `Ibn. Tafsîr al-Qur`ân al-‘Adzîm. Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2000.
al-Râzî, al-Fakhr. al-Tafsîr al-Kabîr. Beirut: Dâr `Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, t.t..
al-Zarqânî, Muhammad ‘Abd al-‘Adzîm. Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur`ân. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2004.
al-Zuhailî, Wahbah. al-Fiqh al-`Islâmî wa `Adillatuh. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004.
---------. al-Tafsîr al-Munîr. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005.
---------. Al-Wajîz fî `Ushul al-Fiqh. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003.

[1] al-Fakhr al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr (Beirut: Dâr `Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, t.t.), vol. 10, 138.
[2] Ibid.; Muhammad ‘Abd al-‘Adzîm al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2004), vol. 1, 74; Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî `Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003), 203.
[3] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol 3, 129.
[4] Ibid.
[5] Ahmad bin Muhammad bin ‘Alî al-Fayûmî, al-Mishbâh al-Munîr fî Gharîb al-Syarh al-Kabîr (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t.), 145.
[6] Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-`Islâmî wa `Adillatuh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004), vol 3, 6231.
[7] Ibid., al- Tafsîr al-Munîr, vol 3, 129.
[8] Ibid., vol. 3, 130.
[9] ‘Abd al-Haqq bin ‘Athiyyah, al-Muharrir al-Wajîz (Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2002), 1111.
[10] Ibn al-Qayyim al-Jauzî, Zâd al-Masîr fî ‘Ilm al-Tafsîr (Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2002), 333.
[11] al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol 4, 535.
[12] `Ismâ’îl bin ‘Umar bin `Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Adzîm (Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2000), 542.
[13] al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol 3, 325.
[14] al-Qur`ân, 66:6.
[15] al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol 3, 327.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
[20] وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
[21] al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 10, 141.
[22] Ibid.
[23] al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol 3, 544.
[24] Ibid., vol 3, 548.
[25] al-Qur’ân, 5:49
[26] al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol 3, 549.
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Ibid., vol. 3, 550.
[30] Ibid.

kerukunan dan persatuan

PERILAKU TERPUJI PERSATUAN DAN KERUKUNAN


A. Pengertian Persatuan dan Kerukunan
Secara bahasa persatuan diartikan sebagai gabungan (ikatan, kumpulan dan lain sebagainya), beberapa bagian yang sudah bersatu. Sedangkan rukun berarti baik, damai, tidak bertengkar. Kerukunan berarti sebagai hidup rukun, damai dan tidak bertengkar antara warga masyarakat.
Persatuan dan kerukunan sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, sebab terciptanya persatuan dan kerukunan dalam suatu negara akan menjadikan rakyat nyaman dan tenteram dalam bekerja, menuntut ilmu, melaksanakan ajaran agama, melaksanakan pembangunan dan lain sebagaianya. Agama Islam mengajarkan kepada umatnya untuk membina persatuan dan kerukunan. Firman Allah :

Artinya : Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(Q.S.Al Hujurot{49}:13).
Ayat tersebut menegaskan bahwa manfaat diciptakan manusia dengan berbeda-beda suku, bangsa adalah supaya saling mengenal dan memberi manfaat satu dengan yang lannya.
Pada ayat lain Allah melarang hamba-Nya saling mengolok-olok kaum satu dengan yang lainnya :

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik ….. ( Q.S. Al hujurot {49} : 11 )

B. Perilaku Persatuan dan Kerukuan dalam Kehidupan Sehari-hari
Penerapan perilaku persatuan dan kerukunan dalam kehidupan sehari-hari dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
1. Kerukunan Umat Seagama
Rasulullah Muhammad SAW diutus oleh Allah bukan hanya untuk bangsa arab saja, melainkan untuk seluruh manusia dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Firman Allah :

Artinya : “Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya Aku adalah utusan Allah kepadamu semua”, ….. (Q.S. Al A’rof {7} : 158 )
Dalam perkembanganya, agama Islam diterima oleh masyarakat yang berbeda suku, bangsa dan budaya. perberbedaan pengetauan dan pemahaman masing-masing suku dan bangsa, mendorong munculnya beberapa aliran dalam agama. Dalam bidang figh terdapat empat madzhab yang sangat populer yaitu ; madzab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Keempat madzhab tersebut masing-masing mempunyai banyak pengikutnya, termasuk bangsa Indonesia. Dalam aqidah terdapat aliran Jabariyah, qodariyah dan Asy’ariyah, dalam organisasi kemasyarakatan Islam ada Nahdlotul Ulama’, Muhamadiyah, Persis dan lain sebagainya. Perbedaan paham tersebut adalah merupakan dinamika umat Islam, sehingga islam benar-benar menjadi rahmatan lil ’alamin. Perbedaan paham bukan menjadi penyebab permusuhan dan perpecahan umat. Rasulullah SAW telah bersabda yang artinya “ perbedaan pendapat pada umat-Ku hendaknya menjadi rahmat”. Dan Allah SWT berfirman :

Artinya : “ Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku”. ( Q.S. Al Anbiya’ {21} : 92 ).


2. Kerukunan Antar Umat Beragama
Toleransi antar umat beragama telah diajarkan dan dicontohkan oleh Rosulullah SAW kepada para shahabat dan seluruh umat-Nya. Misalnya pada masa selesai peranga badar, pasukan muslim telah berhasil menawan pasukan kafir, banyak para shahabat yang menginginkan tawanan tersebut dibunuh, namun kebijakan Rasul berbeda justru Rasul meminta agar tawanan-tawanan perang itu dibebaskan.
Agama Islam membolehkan umatnya untuk berhubungan denga pemeluk agama lain, bahkan toleransi antar umat beragama sangat dianjurkan oleh Rosulullah SAW. Batasan toleransi antar umat beragama yang dianjarkan oleh Rosul SAW adalah dalam batasan mu’amalah, yaitu hubungan kerja sama dalam hal kemanusiaan. Sedangkan toleransi yang menyangkut dalam hal ibadah dan aqidah Islam secara tegas melarangnya. Firman Allah :

Artinya : 1). Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, 2). Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. 3). Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. 4). Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, 5). Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. 60. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (Q.S. Al Kafirun {109} : 1 – 6 ).

Sikap toleransi antar umat beragama dapat ditunjukkan melalui :
1. Saling menghargai dan menghormati ajaran masing-masing agama
2. Menghormati atau tidak melecehkan simbol-simbol maupun kitab suci masing-masing agama.
3. Tidak mengotori atau merusak tempat ibadah agama oranga lain, serta ikut menjaga ketrtiban dan ketenangan kegiatan keagamaan.

3. Kerukunan Umat Beragama dengan Pemerintah
Menurut istilah agama Islam pemerinth disebut ulil amri (yang memiliki kekuasaan atau mengurusi). Menurut ahli tafsir ulil amri adalah orang-orang yang memegang kekuasaan diantara mereka (umat Islam), yang meliputi pemerintah, penguasa, alim ulama dan pemimpin lainnya.
Islam mengajarkan kepada umatnya, bahwa mentaati pemerintah nilainya sama dengan mentaati Allah dan Rasulnya. Firman Allah :

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu…… (Q.S. An Nisa’ {4} : 59).

Ayat tersebut mewajibkan setiap umat Islam wajib patuh kepada pemerintah, patuh pada peraturan perundangan yang telah ditetapkan oleh pemerinatah, selama peraturan tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran agama. Tetapi jika terdapat peraturan yang tidak sejalan dengan prinsip ajaran agama, umat Islam wajib mengingatkan dengan cara-cara yang baik dan bijaksana.

ADIL,RIDHA DAN AMAL SHALEH

A. Adil

Adil adalah memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya tanpa ada pengurangan, dan meletakkan segala urusan pada tempat yang sebenarnya tanpa ada aniaya, dan mengucapkan kalimat yang benar tanpa ada yang ditakuti kecuali terhadap Allah swt saja. Allah swt. berfirman dalam surat an-Nisa ayat 135 :
                                   •     
Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan (Q.S. an-Nisa : 135)

Islam menyeru untuk berlaku adil sekalipun diantara kita sedang terjadi permusuhan. Allah swt. berfirman dalam surat al-Maidah ayat 8 :

               •      •         
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Maidah ayat 8)

Adil disejajarkan dengan perbuatan kebajikan, karena adil sendiri adalah memberikan hak kepada yang punya. Sehingga orang yang diberikan hak merasa senang dan bahagia. Allah swt. berfirman dalam Q.S. an-Nahl (16) ayat 90 :

    •             
Artinya :
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (Q.S. an-Nahl : 90)

Prof.Quraisy Shihab menguraikan tentang makna keadilan dalam bukunya Wawasan Al-Quran hal. 114-116, paling tidak ada empat pengertian adil yang dikemukakan oleh para ulama, yaitu ;
1. Adil dalam arti “sama”
Dalam arti memperlakukan sama terhadap orang-orang, tidak membedakan hak-haknya. Firman Allah dari Q.S. an-Nisa (4) ayat 58 berikut :
 •          •    ••         •   
Artinya :
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. (Q.S. an-Nisa : 58)

Perhatikan contoh keadilan yang dipraktekkan oleh Ali bin Abi Thalib berikut, pernah suatu hari terjadi sengketa diantara Ali bin Abi Thalib dengan seorang Yahudi, yaitu suatu sengketa yang sampai juga ke meja hijau (majlis hukum) dibawah pimpinan Umar bin Khattab guna mendapatkan penyelesaian. Setelah kedua pihak sama-sama datang menghadap Umar, maka berkatalah Umar kepada Ali : “ Ya Abal Hasan, berdirilah berdekatan dengan lawanmu”. Seusai Umar memberikan keputusannya, Umar melihat bahwa diwajah Ali terdapat tanda-tanda kedukaan, maka ujarnya : “ Wahai Ali, mengapa saya lihat anda agak susah ?”. Ali menjawab : “Sebab anda tidak mempersamakan antara saya dan lawan saya, anda memanggil saya dengan sebutan kehormatanku “Abal Hasan “, sedang anda memanggil Yahudi dengan namanya yang biasa”.
Pernahkah anda saksikan suatu tindak keadilan yang mencapai jangkauan setinggi itu ? Apa yang dipraktekkan oleh khalifah Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib itu adalah cermin keadilan didalam Islam. Karena Islam menyeru kepada umatnya untuk berlaku adil, Islam melarang keras untuk berlaku sebaliknya.
Imam Ibnu Taimiyah berkata : “ Bahwasanya Allah akan menolong penguasa atau pemerintah yang adil sekalipun dia pemerintah kafir, dan Allah tidak akan menolong penguasa pemerintah yang zalim kendatipun dia itu Islam “. Allah swt. berfirman dalam surat al-Hud ayat 117 :

        

Artinya :
Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.(Q.S. al-Hud :117)
2. Adil dalam arti “seimbang”
Keseimbangan sangat diperlukan dalam suatu kelompok yang didalamnya terdapat beragam bagian yang bekerja menuju satu tujuan tertentu. Dengan terhimpunnya bagian-bagian itu, kelompok tersebut dapat berjalan atau bertahan sesuai tujuan kehadirannya. Firman Allah dalam surat al-Infithar (82) ayat 6-7 berikut ;
           
Artinya :
Hai manusia, Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. (Q.S. al Infithar :6-7)

Kata عدل dalam ayat tersebut berarti seimbang. Tubuh manusia akan normal selama bagian-bagian tubuh itu semua bekerja atau berfungsi sesuai tujuan kehadirannya.

Contoh lainnya terdapat dalam firman Allah Q.S. al-Mulk (67) ayat 3 berikut ;

     •               
Artinya :
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? (Q.S. al-Mulk :3)

Alam semesta akan bertahan selama bagian-bagian dari ekosistem yang ditetapkan Allah swt. bekerja dengan seimbang.

3. Adil dalam arti “Perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya”.
Pengertian inilah yang didefinisikan dengan “menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau “memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat”. Lawannya adalah kezaliman dalam arti melanggar hak-hak pihak lain. Pengertian ini melahirkan keadilan sosial.

4. Adil yang dinisbatkan kepada Ilahi.
Adil disini artinya memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu”. Keadilan Ilahi merupakan rahmat dan kebaikanNya. Keadilannya mengandung konsekwensi bahwa rahmat Allah swt. tidak tertahan untuk diperoleh, sejauh makhluk itu dapat meraihnya.


B. Ridha
Ridha (رِضَى ) menurut kamus al-Munawwir artinya senang, suka, rela. Dalam kehidupan ini seseorang harus mampu menampilkan sikap ridha minimal dalam empat hal:
a. Ridha terhadap perintah dan larangan Allah
Artinya ridha untuk mentaati Allah dan Rasulnya. Pada hakekatnya seseorang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, dapat diartikan sebagai pernyataan ridha terhadap semua nilai dan syari’ah Islam. Perhatikan firman Allah dalam Q.S. al-Bayyinah (98) ayat 8
      •                 
Artinya :
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya. (Q.S.al-Bayyinah ayat 8 )

Dari ayat tersebut dapat dihayati, jika kita ridha terhadap perintah Allah maka Allah pun ridha terhadap kita.

b. Ridha terhadap taqdir Allah.
Mari kita simak, apa yang dikisahkan berikut ; pada suatu hari Ali bin Abi Thalib r.a. melihat Ady bin Hatim bermuram durja, maka Ali bertanya ; “Mengapa engkau tampak bersedih hati ?”. Ady menjawab ; “Bagaimana aku tidak bersedih hati, dua orang anakku terbunuh dan mataku tercongkel dalam pertempuran”. Ali terdiam haru, kemudian berkata, “Wahai Ady, barang siapa ridha terhadap taqdir Allah swt. maka taqdir itu tetap berlaku atasnya dan dia mendapatkan pahalaNya, dan barang siapa tidak ridha terhadap taqdirNya maka hal itupun tetap berlaku atasnya, dan terhapus amalnya”.
Ada dua sikap utama bagi seseorang ketika dia tertimpa sesuatu yang tidak diinginkan yaitu ridha dan sabar. Ridha merupakan keutamaan yang dianjurkan, sedangkan sabar adalah keharusan dan kemestian yang perlu dilakukan oleh seorang muslim.
Perbedaan antara sabar dan ridha adalah sabar merupakan perilaku menahan nafsu dan mengekangnya dari kebencian, sekalipun menyakitkan dan mengharap akan segera berlalunya musibah. Sedangkan ridha adalah kelapangan jiwa dalam menerima taqdir Allah swt. Dan menjadikan ridha sendiri sebagai penawarnya. Sebab didalam hatinya selalu tertanam sangkaan baik (Husnuzan) terhadap sang Khaliq bagi orang yang ridha ujian adalah pembangkit semangat untuk semakin dekat kepada Allah, dan semakin mengasyikkan dirinya untuk bermusyahadah kepada Allah.
Dalam suatu kisah Abu Darda’, pernah melayat pada sebuah keluarga, yang salah satu anggota keluarganya meninggal dunia. Keluarga itu ridha dan tabah serta memuji Allah swt. Maka Abu Darda’ berkata kepada mereka. “Engkau benar, sesungguhnya Allah swt. apabila memutuskan suatu perkara, maka dia senang jika taqdirnya itu diterima dengan rela atau ridha.
Begitu tingginya keutamaan ridha, hingga ulama salaf mengatakan, tidak akan tampak di akhirat derajat yang tertinggi daripada orang-orang yang senantiasa ridha kepada Allah swt. dalam situasi apapun (Hikmah, Republika, Senin 5 Februari 2007, Nomor: 032/Tahun ke 15)
c. Ridha terhadap perintah orang tua.
Ridha terhadap perintah orang tua merupakan salah satu bentuk ketaatan kita kepada Allah swt. karena keridhaan Allah tergantung pada keridhaan orang tua, perintah Allah dalam Q.S. Luqman (31) ayat 14 ;
   •              
Artinya :
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Q.S. Luqman :14)

Bahkan Rasulullah bersabda : “Keridhaan Allah tergantung keridhaan orang tua, dan murka Allah tergantung murka orang tua”. Begitulah tingginya nilai ridha orang tua dalam kehidupan kita, sehingga untuk mendapatkan keridhaan dari Allah, mempersyaratkan adanya keridhaan orang tua. Ingatlah kisah Juraij, walaupun beliau ahli ibadah, ia mendapat murka Allah karena ibunya tersinggung ketika ia tidak menghiraukan panggilan ibunya.

d. Ridha terhadap peraturan dan undang-undang negara
Mentaati peraturan yang belaku merupakan bagian dari ajaran Islam dan merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah swt. karena dengan demikian akan menjamin keteraturan dan ketertiban sosial. Mari kita hayati firman Allah dalam Q.S. an-Nisa (4) ayat 59 berikut :
                              
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.( Q.S. an-Nisa :59)

Ulil Amri artinya orang-orang yang diberi kewenangan, seperti ulama dan umara (Ulama dan pemerintah). Ulama dengan fatwa dan nasehatnya sedangkan umara dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Termasuk dalam ridha terhadap peraturan dan undang-undang negara adalah ridha terhadap peraturan sekolah, karena dengan sikap demikian, berarti membantu diri sendiri, orang tua, guru dan sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan. Dengan demikian mempersiapkan diri menjadi kader bangsa yang tangguh.


C. Amal Saleh

Amal Saleh artinya perbuatan yang baik. Beramal shaleh artinya melakukan hal-hal positif secara kreatif. Amal diartikan sebuah proses. Amal saleh diartikan sebuah proses yang baik sehingga menghasilkan sesuatu yang baik. Memperbanyak amal saleh berarti banyak jalan/cara yang baik (halal) untuk memperoleh sesuatu yang baik. Misalnya si Adnan rajin belajar dengan menciptakan cara-cara (berbagai cara) belajar yang kreatif, hasilnya dia memperoleh nilai maksimal dalam ujiannya. Rajin belajar dengan berbagai cara kreatif adalah amal saleh. Ukuran kesalehan adalah berdasarkan al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. yang prinsipnya antara lain sebagai berikut:
o Niat yang tulus
Dalam Islam, niat adalah salah satu faktor penentu apakah amal sesorang dikatakan shaleh atau bukan. Sebelum seseorang berbuat hendaklah luruskan dulu niat dan tujuannya , yaitu hanya semata-mata mencari ridha Allah. Sebagai contoh, menyapu kelas yang kotor adalah amal shaleh, tetapi jika dilakukan terpaksa atau karena ingin dipuji oleh guru, maka pertbuatan tersebut tidak termasuk amal shaleh karena tidak punya nilai di hadapan Allah.
o Ada manfa’atnya
Artinya perbuatan yang hendak dilakukan benar-benar bermanfa’at baik bagi dirinya maupun bagi orang lain; Baik untuk di dunia ataupun untuk di akhirat. Islam mengajarkan bahwa perbuatan yang tak mengandung manfa’at tidak boleh dilakukan, karena termasuk perbuatan sia-sia (tabzir)
o Prosesnya benar
Perbuatan dipandang benar atau termasuk amal shaleh apabila prosesnya tidak bertentangan dengan norma-norma agama dan akhlaq mulia. Sebagai contoh, seseorang berjualan atau dagang dengan tujuan untuk mencari rizki agar bisa menafkahi keluarganya, tetapi dengan cara-cara yang tidak halal, misalnya dengan cara menipu atau mengurangi timbangan dan sebagainya. Maka perbuatan dagang tersebut menjadi tercela, tidak termasuk amal shaleh.
1. Bentuk-bentuk amal saleh
Saleh secara ilahiyah dan saleh secara sosial. Kesalehan haruslah memiliki dua dimensi sekaligus. Jika dimata Allah dianggap saleh, maka dimata manusiapun haruslah mendapatkan pengakuan yang sama. Karena kesalehan dihadapan Allah haruslah diperoleh manfaatnya oleh masyarakat manusia sekitarnya. Perhatikan hadis berikut yang artinya :

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik-baik, kalau ia tidak sanggup melakukannya, hendaklah ia diam”.
Sabdanya lagi :
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya”.
Sabdanya lagi :
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menghormat tamunya”.
Sabdanya lagi :
“Iman itu ada 70 cabang, dan malu termasuk cabang iman”.

Dari hadis-hadis tersebut, bahwa buah dari keimanan kepada Allah dan hari akhir adalah kesalehan sosial.
2. Cara memelihara kesalehan, adalah bergaul dengan orang-orang yang saleh
Perhatikan kisah-kisah berikut !
Suatu hari, Syafiq al-Balkhi (seorang dokter ahli jiwa) berkata kepada muridnya Hatim al-Asham.”Apa yang kau pelajari selama tinggal bersamaku (30 tahun). Hatim al-Asham menjawab, ada enam perkara yang dapat kuambil :
Pertama, Aku melihat orang-orang selalu ragu dalam mensikapi masalah ketentuan rizki. Tidak satupun dari mereka kecuali bersikap kikir terhadap harta yang dimilikinya, dan tamak dalam memperolehnya. Namun aku bertawakal kepada Allah karena firmanNya dalam Q.S. Hud (11) ayat 6 : “Dan tidak ada satu binatang melatapun di bumi ini melainkan Allahlah yang menjamin rizkinya”. Oleh karena aku termasuk binatang melata, maka hatiku tidak merisaukan sesuatu yang sudah dijamin Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Kuat”. Sang guru baru berkata, “Bagus”.
Kedua, Aku melihat setiap orang mempunyai teman untuk mencurahkan rahasia dan mengadukan permasalahannya kepadanya, namun teman mereka itu tidak dapat menyimpan rahasia dan tidak mau saling menolong. Maka aku menjadikan amal salehku sebagai teman, supaya dapat menolongku saat hari perhitungan (hisab), meneguhkan diriku dihadapan Allah dan menemaniku saat meniti shirat. Sang guru berkata : “Bagus”.
Ketiga, Aku melihat setiap orang mempunyai musuh dan saat kucermati diriku, ternyata musuhku bukanlah orang yang menggunjingku. Tidak pula orang yang menzalimiku dan menyakitiku, tetapi musuhku adalah orang yang ketika aku sedang taat kepada Allah ia menggodaku dengan perbuatan maksiatnya. Aku melihat bahwa yang berbuat demikian itu adalah iblis, jiwa dunia dan hawa nafsu. Aku menjadikan semua itu sebagai musuh, aku menjaga diri dari mereka dan aku mempersiapkan diri untuk memerangi mereka. Aku tidak akan membiarkan salah satupun dari mereka mendekatiku. Sang guru berkata : “Bagus”.
Keempat, Aku melihat bahwa setiap makhluk hidup senantiasa dibuntuti. Dan yang membuntuti adalah malaikat maut. Maka aku mempersiapkan diriku untuk menemuinya hingga bila dia datang, aku pergi bersamanya tanpa halangan. Sang guru berkata : “Bagus”.
Kelima, Aku melihat orang-orang saling mencinta dan membenci dan aku melihat orang mencintai tidak memiliki sesuatu untuk kekasihnya. Aku merenungkan sebab percintaan dan kebencian mereka, maka aku tahu penyebabnya adalah fisik (jasad). Aku menafikan (sebab fisik) dengan menafikan hubungan-hubungan antar jiwa dan jasadku, yaitu hubungan syahwat. Maka aku mencintai semua orang, aku tidak merelakan sesuatu atas mereka kecuali apa yang aku ridhai untuk diriku. Sang guru berkata : “Bagus”.
Keenam, Aku melihat bahwa setiap orang akan meninggalkan tempat tinggalnya dan nasib setiap orang akan kembali ke liang kubur. Maka aku mempersiapkan semua amal perbuatan yang mampu kulakukan dan yang akan membahagiakanku ditempat yang baru itu, yang tidak ada satupun dibaliknya, kecuali surga dan neraka.
Sang guru Syafiq al-Balkhi menimpali :”cukup dan laksanakanlah enam perkara itu sampai mati”.
Dari kisah tersebut dapat disimpulkan bahwa kesalehan akan terpelihara dengan baik apabila kita bergaul dengan orang-orang saleh juga.

3. Amal saleh dapat menolong saat kesulitan
Amal-amal saleh ternyata dapat menolong si pemiliknya dalam kesulitan, sebagaimana dikisahkan oleh rasulullah berikut !
“Ada tiga orang dari umat sebelum kalian melakukan perjalanan hingga malam menjelang. Merekapun bermalam di sebuah gua. Ketika mereka masuk di bagian dalam, tiba-tiba sebuah batu besar jatuh dari atas bukit dan menyumbat mulut gua. Mereka berkata kepada diri mereka masing-masing. Tidak akan bisa menyelamatkan diri, kecuali bila memohon kepada Allah dengan perbuatan saleh pernah dilakukan”.
Seorang dari mereka berdo’a : “Ya Allah hamba dulu mempunyai bapak dan ibu yang sudah tua renta. Hamba senantiasa memberi minum kedua orang tua hamba sebelum memberi minum keluarga dan anak-anak hamba. Pada suatu hari karena pekerjaan hamba mencari kayu membuat hamba pergi terlampau jauh hingga tidak bisa pulang dan merekapun tertidur menunggu kedatangan hamba. Sampai di rumah hamba langsung memerah susu untuk keduanya, tapi mereka sudah pulas. Hamba merasa segan untuk membangunkan mereka dan hambapun tidak mau memberi minum keluarga dan anak-anak hamba sebelum mereka minum terlebih dahulu. Maka hambapun memutuskan untuk tetap menunggu dengan periuk di tangan hingga fajar mulai menerangi dan anak-anak hamba merintih kelaparan, merajuk di kaki hamba. Tak lama kedua orang tua hamba bangun dan mereka bisa minum minuman yang telah hamba sediakan. “Ya Allah, Jika menurutMu hamba melakukan hal itu demi mendapat keridhaanMu, maka lepaskanlah kami dari musibah batu yang menimpa kami”. Dan tiba-tiba batu penyumbat mulut gua itu bergeser, tetapi belum cukup untuk bisa keluar.
Salah seorang dari mereka memohon lagi : Hamba dulu mempunyai saudara sepupu perempuan dan dia adalah orang yang paling hamba cintai. Hamba terus berusaha membujuknya, namun ia menolak hasrat cinta hamba. Hingga akhirnya datang musim kemarau yang panjang, iapun datang menemui hamba, hamba memberinya 120 dinar dengan syarat ia mau melayani keinginan hamba, maka ia menyanggupinya. Ketika hamba hendak menjamahnya, ia berkata, “takutlah kepada Allah dan janganlah engkau gunakan cincin ini kecuali sesuai haknya”. Mendengar kata-kata itu hambapun pergi meninggalkannya, dan dia tetap orang yang paling hamba cintai. Hamba tinggalkan emas yang telah hamba berikan padanya. Ya Allah jika hamba melakukan perbuatan itu karena mengharap keridhaanMu, maka lepaskanlah kami dari apa yang menimpa kami. Seketika itu batu mulai terkuak lagi namun belum cukup untuk keluar dari gua itu.
Lelaki ketiga ganti memohon, “Ya Allah, hamba dulu sering menyewa pekerja dan senantiasa memberikan mereka upah, kecuali seorang dari mereka pergi, tidak memberitahukan kemana perginya. Hambapun memutuskan untuk menginvestasikan upah orang itu hingga berkembang menjadi banyak. Suatu ketika si pekerja itu datang kepada hamba dan berkata, “Wahai hamba Allah, berikan padaku upah kerjaku”. Hamba berkata kepadanya, “Semua yang kamu lihat, unta, sapi, kambing dan budak-budak ini adalah upah kerjamu. Orang itu berkata, “Wahai hamba Allah, janganlah bergurau denganku”. Hamba menjawab, “Aku tidak bergurau”. Maka orang itu mengambil semua hartanya dan tidak menyisakan sedikitpun dari harta itu. “Ya Allah, jika hamba melakukan semua itu demi mengharap ridhaMu, maka lepaskanlah kami dari musibah yang menimpa kami”. Maka terbukalah batu yang menyumbat mulut gua itu, dan mereka bertiga keluar dari gua dengan selamat. (H.R.Al-Bukhari dan Muslim)
Melihat kisah tersebut maka perbanyaklah sadaqah dan amal saleh karena sadaqah dan amal saleh bisa menjadi tolak balak dan akan menjadi penolong dari kesulitan dalam kehidupan

RIDHA,ADIL DAN AMAL SHALEH

1. ADIL
1. A. Pengertian Adil
Kata adil sering disinonimkan dengan kata Al-Musawah (persamaan) dan Al-Qist (moderat) dan kata adil dilawankan dengan kata dzalim. Prinsip ini merupakan akhlak mulia yang sangat ditekankan dalam syari’at islam, sehingga wajar kalau tuntutan dan aturan agama semuanya dibangun di atas dasar keadilan dan seluruh lapisan manusia diperintah untuk berlaku acil.
Adil adalah memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya tanpa ada pengurangan, dan meletakkan segala urusan pada tempat yang sebenarnya tanpa ada aniyaya, dan mengucapkan kalimat yang benar tanpa ada yang di takuti kecuali terhadap Allah SWT saja.
Allah SWT berfirman :
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia[361] Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”(Q.S Al-Maidah : 8)
[361] Maksudnya: orang yang tergugat atau yang terdakwa.
Islam memerintahkan kepada kita agar kita berlaku adil kepada semua manusia. Yaitu keadilan seorang muslim terhadap orang yang dicintai, dan keadilan seorang muslim terhadap orang yang dibenci. Sehingga perasaan cinta itu tidak bersekongkol dengan kebatilan, dan perasaan benci itu tidak mencegah dia berbuat adil (insaf) dan memberikan kebenaran kepada yang berhak.
Artinya :
“Dan di antara orang-orang yang kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan.”(Q.S. Al- A’raf : 181)
1. B. Contoh Perilaku Adil
melaksanakan tugas sesuai fungsi dan kedudukannya.
menghukum orang yang bersalah melakukan tindak pidana.
memberikan hak orang lain sesuai dengan haknya tanpa mengurngi sedikitpun.
1. C. Cara Menumbuhkan Perilaku Adil
a. Menjauhi dari sikap egois ketika menentukan dua perkara.
b. Mendahulukan kebaikan daripada kejelekan orang.
c. Bersikap objektif jika melihat dua perkara yang berbeda.
Dalil Tentang Adil
Artinya:
7. “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan).”
8. “Supaya kamu jangan melampaui batas neraca itu.”
9. “Dan tegakkanlah kesetimbangan itu dengan adil dan jangan kamu mengurangi neraca itu.” (QS. Ar-Rahman : 7-9)

Dan Allah ahkamul hakimin memerintah untuk berlaku adil secara mutlak,
Artinya :
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu)[519], dan penuhilah janji Allah[520]. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. (QS. Al-An’am : 152)
[519] Maksudnya mengatakan yang sebenarnya meskipun merugikan Kerabat sendiri.
[520] Maksudnya penuhilah segala perintah-perintah-Nya.
Dan Allah memuji orang-orang yang berlaku adil, yang di anjurkan, sedangkan sabar adalah keharusan dan kemestian perlu dilakukan oleh seorang muslim.

2. RHIDO
Macam-macam Ridho :
Ridho kepada Allah.
Ridho kepada takdir Allah.
Ridho kepada orang tua.
Ridho kepada UU Negara.
2. A. Pengertian Ridho
Kata ridho berasal dari bahasa yaitu kata rodiya yang berarti senang, suka, rela. Ridho merupakan sifat yang terpuji yang harus dimiliki manusia. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah SWT ridho terhadap kebaikan hambanya.
Ridho amenurut kamus al-Munawwir artinya senang, suka, rela. Dan bisa diartikan Ridho adalah nuansa hati kita dalam merespon semua pemberian-Nya yang setiap saat selalu kita rasakan. Pengertian ridho juga ialah menerima dengan senang segala apa yang diberikan oleh Allah SWT baik berupa peraturan (hukum) atau pun qada’ atau sesuatu ketentuan dari Allah SWT.

Allah SWT berfirman :
Artinya :
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal didalamnya selama-lamanya; ridho Allah terhadap-Nya[475]. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (QS Al-Maidah : 119)
[457] Maksudnya: Allah meridhai segala perbuatan-perbuatan mereka, dan merekapun merasa puas terhadap nikmat yang telah dicurahkan Allah kepada mereka.
Jadi ridho adalah perilaku terpuji menerima dengan senang apa yang telah diberikan Allah SWT, berupa ketentuan yang di berikan kepada manusia. Dalam kehidupan seseorang ada beberapa hal yang harus menampilkan ridho, minimal empat macam berikut ini :
A. Ridho terhadap perintah dan larangan Allah.
B. Ridho terhadap takdir Allah.
C. Ridho terhadap perintah orang tua.
D. Ridho terhadap UU Negara.
Ada dua sikap utama bagi seseorang ketika dia tertimpa sesuatu yang tidak diinginkan yaitu ridho dan sabar. Ridha merupakan keutamaan.
Perbedaaan sabar dan ridha adalah sabar merupakan perilaku menahan nafsu dan menghengkangnya dari kebencian, sekalipun menyakitkan dan mengharapkan berlalunya musibah.
Sedangkan ridha adalah kelapangan jiwa dalam menerima takdir Allah SWT.

Cara menumbuhkan perilaku Ridho :
Apabila tertimpa musibah, anggap saja itu adalah coban yang Allah berikan.
Mentaati perintah orang tua sekecil apapun.
Mentaati peraturan yang di atur oleh pemerintah demi keselamatan masyarakatnya.
Menerima semu nikmat yang Allah berikan.


3. RELA BERKORBAN
3. A. Pengertian Rela Berkorban
Rela berarti bersedia dengan ikhlas hati, tidak mengharapkan imbalan atau dengan kemauan sendiri. Berkorban berarti memiliki sesuatu yang dimiliki sekalipun menimbulkan penderitaan bagi dirinya sendiri. Rela berkorban dalam kehidupan masyarakat berarti bersedia dengan ikhlas memberi sesuatu ( tenaga, harta atau pemikiran)
Untuk kepentingan orang lain atau masyarakat. Walaupun dengan berkorban akan menimbulkan cobaan penderitaan bagi dirinya sendiri.
3. B. Jenis-jenis Rela Berkorban
Rela berkorban dalam lingkungan keluarga.
Rela berkorban dalam lingkungan kehidupan sekolah.
Rela berkorban dalam lingkungan kehidupan masyarakat.
Rela berkorban dalam lingkungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
3. C. Dalil Tentang Rela Berkorban
Artinya :
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya ! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al-Hujurat : 9)
3. D. Contoh Perilaku Rela Berkorban
Keikhlasan orang tua dalam memelihara, mengasuh, dan mendidik anak-anaknya.
Pemberian dari siswa berupa sumbangan pohon, tanaman dan bunga untuk halaman sekolah.
Warga masyarakat bergotong royong meperbaiki jembatan yang rusak karena longsor.
Warga masyarakat merelakan sebagian tanahnya untuk pembangunan irigasi dengan memperoleh penggantian yang layak.
Cara menumbuhkan sifat rela berkorban :
a. Selalu peduli dan memperhatikan kepentingan umum, bangsa dan Negara selain kepentingan pribadi.
b. Gemar memberikan pertolongan kepada sesama.
c. Penyantun dan penyayang terhadap orang lain atau lingkungan.
d. Menjauhi sifat angkuh, egois hedonis dan matrialis.

4. SABAR
Menurut sebagian ulama’ sabar adalah sama dengan tabah. Tabah artinya menahan diri untuk tidak melakukan hal hal yang bertentangan hukum islam, baik dalam kelapangan maupun kesempitan, serta mampu mengendalikan nafsu yang dapat menggoncangan iman.
Imam Al-ghozali, mengumpamakan tiga unsur kesabaran seperti sebatang pohon, ilmu sebagai batangnya, hal sebagai cabangnya, dan amal sebagai buahnya.
Rasulullah SAW membagi kesabaran menjadi tiga macam yaitu :
1. Sabar dalam menghadapi segala musibah.
2. Sabar dalam mematuhi perintah Allah SWT.
3. Sabar dalam menahan diri untuk tidak melaksanakan maksiat.
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu[99], Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”(Q.S. Al-Baqarah : 153)
[99] Ada pula yang mengartikan: mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat.

Hikmah Sabar :
1. Sabar merupakan akhlak terpuji.
2. Orang sabar akan mendapat kemenangan.
3. Allah akan melimpahkan karunia-Nya berupa kemudahan segala urusan di dunia maupun akhirat.
5.GIGIH
Setiap orang diharuskan untuk bekerja keras. Dengan usaha keras inisiativ dan keikhlsannya diharap manusia bias meningkatkan taraf hidupnya lebih baik. Maka manusia tidak boleh pesimis, Allah berfirman :
Artinya :
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”( Ar-Ra’d : 11)
[767] Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah.
[768] Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.
Agar keinginannya tercapai, maka setiap manusia harus memiliki cara sebagaimana dalam firman Allah dalam surat Jumua : 10
Artinya:
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.”(Q.S Al-Jumu’ah : 10)

6. BERINISIATIF
Setiap manusia pasti memiliki perbedaan, baik secara fisik maupun mental. Oleh karena itu kita harus menghargainya sebagai dasar untuk mencapai tujuan hidup, yaitu kemakmuran dan kebahagiaan dunia akhirat.
Berinisiatif berarti kemampuan berprasangka dalam kegiatan yang positif dan menghindari sikap terburu buru dalam bertindak di situasi yang sulit, bertindak dengan akal fikiran.
Cara menumbuhkan sikap inisiatif :
a. Beramal atau bekerja sesuai keadaan, kelakuan, dan bakat.
b. Tidak ikut ikutan tanpa dasar ilmu.
c. Selalu menggunakan akal dalam bertindak.
d. Bekerja keras dalam menggapai cita-cita.
e. Berusaha menjadi pionir dan kreatif mencari ide-ide.
7. TAWADHU
Tawadhu adalah rendah hati atau merendahkan diri tanpa menghinakan dan meremehkan harga dirinya. Lawan dari Tawadhu adalah sombong.
Sebagai salah satu akhlak terpuji, tawadhu dapat menimbulkan rasa persamaan, menghormati, dan menghargai orang lain. Sikap toleransi, sikap solidaritas, dan cinta kepada keadilan serta siap menerima kritik dan bersikap demokratis.
Upaya yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan sikap tawadhu pada diri manusia adalah :
1. Menumbuhkan sikap kesadaran dalam diri manusia agar tidak bersikap sombong. Firman Allah SWT :

Artinya :
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Esa itu (ialah) orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati dan apabila orang – orang jahil menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan (salam).”(Q.S Al-Furqan : 63)

2. Menumbuhkan dan menanamkan kesadaran tentang proses penciptaan manusia. Sebagai makhluk Allah manusia, mempunyai hak dan kewajiban. Sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya :
“Dengan menyombongkan diri terhadap Al Quran itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari.” (Q.S Al Mukmin : 67)
Manusia di hadapan Allah adalah makhluk yang tidak berdaya apa-apa. Oleh karena itu, tidak ada artinya jika kita sombong karena sesungguhnya kita tidak memiliki apa-apa.

Sikap Tawadhu mempunyai keluhuran dan manfaat yang sangat besar. Manfaat itu antara lain :
a. Menghindari manusia dari sifat sombong.
b. Membuat orang bertambah mulia.
c. Akan di tinggikan derajatnya oleh Allah SWT.
8. TAAT
Kata taat berarti senantiasa menurut. Arti taat kepada Allah menurut istilah adalah upaya menggantungkan diri atau menyerahkan diri kepada Allah dengan ikhlas menaati peraturanyya dan menjauhi larangannya. Firman Allah :
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa` : 59)
Artinya :
“Katakanlah (Muhammad), “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.”(Ali `Imran : 32)
Ayat ayat diatas kita sebagai manusia yang beriman harus taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang yang taat pada Allah disebut Takwa.
Ciri-ciri takwa adalah :
a. Beriman kepada Allah.
b. Mendirikan Sholat.
c. Menafkahkan sebagaian rezeki dari Allah.
d. Beriman pada kitab.
e. Beriman kepada adanya kehidupan akhirat.

Demikian iman yang kita yakini sempurna setelah dibuktikan dengan amal shaleh. Oleh karena itu, iman bukannya hanya sekedar mempercayai tapi juga disertai dengan amal.
9. AMAL SHOLEH
Artinya melakukan suatu hal yang positif secara kreatif. Amal diartikan sebagai proses. Amal sholeh diartikan sebagai proses yang baik sehingga menghasilkan hasil yang baik. Jadi jika memperbanyak amal sholeh berarti memperbanyak jalan untuk mencapai hal yang halal. Pada prinsipnya ukuran keshalehan menurut Al-Qur’an dan sunnah Rosul sebagai berikut :
a. Niat yang tulus
Dalam Islam, niat menjadi sakah satu faktor tertentu apakah amal seseorang dikatakan shaleh atu bukan.
b. Ada manfaatnya
Islam mengajarkan bahwa perbuatan yang tak mengandung manfaat tidak boleh di lakukan karena sia-sia.
c. Prosesnya benar
Maksudnya proses dari perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan norma norma agama.

Bentuk amal sholeh :
1. Bentuk amal sholeh yaitu secara illahiyah dan secara sosial. Kesalehan harus mempunyai dua dimensi sekaligus jika dimata Allah sholeh maka dimata manusia juga mempunyai pengakuan sama.
2. Cara memelihara kesholehan adalah bergaul dengan orang orang sholeh.
3. Amal sholeh dapat menolong dalam kesulitan.
10. TASAMUD
Sikap tasamud adalah satu sifat tenggang rasa terhadap pendiriran atau pendapat orang lain, bahkan pertentangan dengan pendirian sendiri.
Toleransi yang dibutuhkan adalah toleransi yang bermaksud untuk kebaikan dan kemaslahatan yang bermanfaat bagi hidup.
Manfaat toleransi :
a. Dapat memperkokoh persatuan dan kerukunan.
b. Saling menghargai sesama derajat manusia.
c. Untuk meningkatkan rasa kepedulian terhadap orang lain.
d. Menjaga norma agama.
e. Mengikis sifat egois.
f. Menumbuhkan sifat tanggung jawab.
11. HUSNUZAN
11. A. Pengertian Husnuzan
Husnuzan atau secara harfiah berarti berbaik sangka. Berbaik sangka akan membuat hati menjadi tenang, damai, dan tentram. Husnuzan lawannya adalah suuzan yang artinya berburuk sangka. Hal itu akan membuat kita selalu dalam kecurigaan dan tidak tenang.
Berbaik dan berburuk sangka merupakan bisik jiwa yang dapat diwujudkan melalui perilaku yakni ucapan dan perbuatan. Perilaku husnuzan termasuk akhlak terpuji karena akan mendatangkan manfaat. Sedangkan perilaku suuzan termasuk akhlak tercela karena akan mendatangkan kerugian. Maka dari itu kita harus berbaik sangka kepada Allah SWT, sesama manusia, dan diri sendiri.
Sungguh tepat jika Allah SWT dan rasul-Nya melarang berperilaku buruk sangka. Sebagaimana yang tertulis dalam Q.S Al-Hujurat : 12.
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”(Q.S Al-Hujarat : 12)
11.B. Contoh Perilaku Husnuzan
Husnuzan kepada Allah.
Husnuzan terhadap diri sendiri.
Husnuzan terhadap sesama.

Husnuzan kepada Allah terbagi atas 3 macam :
1. Keagungan atau keindahan sifat-Nya.
2. Kebaikan-Nya.
3. Kedudukan-Nya.

Contoh Perilaku husnuzan kepada Allah :
Bersyukur.
Bersabar.

Contoh Perilaku husnuzan terhadap diri sendiri :
Percaya diri.
Gigih dalam menuntut ilmu dan bekerja yang halal.

Contoh perilaku husnuzan terhadap sesama :
Saling menghormati.
Saling tolong-menolong dalam kebaikan.

zakat

ISI

Terdapat beberapa perintah Allah untuk ummatNya dalam Alquran yang disebutkan dengan berulang-ulang. Diantara perintah itu setidaknya ada 3 (tiga) amalan yang berhubungan dengan sesama makhluk (hablumminannas) yang Allah wajibkan setelah Allah mewajibkan amalan kepadaNya (habbluminnallah) . Menarik kita simak adalah kalimat yang digunakan dalam firmanNya menggunakan kalimat majemuk setara. Ketiganya adalah : (Irwanzein; April 29, 2008 dalam emBlogan.htm)
1. Beriman dan beramal shaleh.
2. Tidak menyekutukan Allah dan berbuat baik kepada kedua orang tua.
3. Dirikan shalat dan tunaikan zakat.

Zakat (Bahasa Arab: زكاة; transliterasi: Zakah) adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya) menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syarak. Zakat merupakan rukun ketiga dari Rukun Islam. (Wikipedia, Ensiklopedia bebas)

Etimologi
Secara harfiah zakat berarti “tumbuh”, “berkembang”, “menyucikan”, atau “membersihkan”. Sedangkan secara terminologi syari’ah, zakat merujuk pada aktivitas memberikan sebagian kekayaan dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk orang-orang tertentu sebagaimana yang ditentukan.

Hukum zakat
Hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu

Jenis zakat
Zakat terbagi atas dua jenis yakni:
Zakat Fitrah
Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadan. Besar zakat ini setara dengan 3,5 liter (2,5 kilogram) makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.
Zakat maal (harta)
Mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing jenis memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.

Syarat seseorang wajib mengeluarkan zakat adalah sebagai berikut: (majalah As Sunnah edisi 06 tahun VII/2003M)
1. Islam
2. Merdeka
3. Berakal dan baligh
4. Memiliki nishab

Nisab
Nishab adalah ukuran atau batas terendah yang telah ditetapkan oleh syar’i (agama) untuk menjadi pedoman menentukan kewajiban mengeluarkan zakat bagi yang memilikinya, jika telah sampai ukuran tersebut. Orang yang memiliki harta dan telah mencapai nishab atau lebih, diwajibkan mengeluarkan zakat dengan dasar firman Allah,
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” (Qs. Al Baqarah: 219)



Syarat-syarat nishab adalah sebagai berikut:
1. Harta tersebut di luar kebutuhan yang harus dipenuhi seseorang, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan alat yang dipergunakan untuk mata pencaharian.
2. Harta yang akan dizakati telah berjalan selama satu tahun (haul) terhitung dari hari kepemilikan nishab dengan dalil hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Tidak ada zakat atas harta, kecuali yang telah melampaui satu haul (satu tahun).” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al AlBani)
Dikecualikan dari hal ini, yaitu zakat pertanian dan buah-buahan. Karena zakat pertanian dan buah-buahan diambil ketika panen. Demikian juga zakat harta karun (rikaz) yang diambil ketika menemukannya.
Misalnya, jika seorang muslim memiliki 35 ekor kambing, maka ia tidak diwajibkan zakat karena nishab bagi kambing itu 40 ekor. Kemudian jika kambing-kambing tersebut berkembang biak sehingga mencapai 40 ekor, maka kita mulai menghitung satu tahun setelah sempurna nishab tersebut.

Cara Menghitung Nishab
Dalam menghitung nishab terjadi perbedaan pendapat. Yaitu pada masalah, apakah yang dilihat nishab selama setahun ataukah hanya dilihat pada awal dan akhir tahun saja?
Imam Nawawi berkata, “Menurut mazhab kami (Syafi’i), mazhab Malik, Ahmad, dan jumhur, adalah disyaratkan pada harta yang wajib dikeluarkan zakatnya – dan (dalam mengeluarkan zakatnya) berpedoman pada hitungan haul, seperti: emas, perak, dan binatang ternak- keberadaan nishab pada semua haul (selama setahun). Sehingga, kalau nishab tersebut berkurang pada satu ketika dari haul, maka terputuslah hitungan haul. Dan kalau sempurna lagi setelah itu, maka dimulai perhitungannya lagi, ketika sempurna nishab tersebut.” (Dinukil dari Sayyid Sabiq dari ucapannya dalam Fiqh as-Sunnah 1/468). Inilah pendapat yang rajih (paling kuat -ed) insya Allah. Misalnya nishab tercapai pada bulan Muharram 1423 H, lalu bulan Rajab pada tahun itu ternyata hartanya berkurang dari nishabnya. Maka terhapuslah perhitungan nishabnya. Kemudian pada bulan Ramadhan (pada tahun itu juga) hartanya bertambah hingga mencapai nishab, maka dimulai lagi perhitungan pertama dari bulan Ramadhan tersebut. Demikian seterusnya sampai mencapai satu tahun sempurna, lalu dikeluarkannya zakatnya. Demikian tulisan singkat ini, mudah-mudahan bermanfaat.

Yang berhak menerima (Wikipedia, Ensiklopedia bebas)
1. Ada delapan pihak yang berhak menerima zakat, yakni:
2. Fakir : Mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup.
3. Miskin : Mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.
4. Amil : Mereka yang mengumpulkan dan membagikan zakat.
5. Mu'allaf : Mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan barunya
6. Hamba sahaya yang ingin memerdekakan dirinya
7. Gharimin : Mereka yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya
8. Fisabilillah : Mereka yang berjuang di jalan Allah (misal: dakwah, perang dsb)
9. Ibnus Sabil : Mereka yang kehabisan biaya di perjalanan.

Yang tidak berhak menerima zakat
1. Orang kaya. Rasulullah bersabda, "Tidak halal mengambil sedekah (zakat) bagi orang yang kaya dan orang yang mempunyai kekuatan tenaga." (HR Bukhari).
2. Hamba sahaya, karena masih mendapat nafkah atau tanggungan dari tuannya.
3. Keturunan Rasulullah. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya tidak halal bagi kami (ahlul bait) mengambil sedekah (zakat)." (HR Muslim).
4. Orang yang dalam tanggungan yang berzakat, misalnya anak dan istri.
5. Orang kafir.



Beberapa Faedah Zakat
1. Faedah Diniyah (segi agama)
a) Dengan berzakat berarti telah menjalankan salah satu dari Rukun Islam yang mengantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.
b) Merupakan sarana bagi hamba untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabb-nya, akan menambah keimanan karena keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan.
c) Pembayar zakat akan mendapatkan pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana firman Allah, yang artinya: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah" (QS: Al Baqarah: 276). Dalam sebuah hadits yang muttafaq "alaih Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam" juga menjelaskan bahwa sedekah dari harta yang baik akan ditumbuhkan kembangkan oleh Allah berlipat ganda.
d) Zakat merupakan sarana penghapus dosa, seperti yang pernah disabdakan Rasulullah Muhammad SAW.
2. Faedah Khuluqiyah (Segi Akhlak)
a) Menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat.
b) Pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya.
c) Merupakan realita bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum Muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti ia akan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat pengorbanannya.
d) Di dalam zakat terdapat penyucian terhadap akhlak.
3. Faedah Ijtimaiyyah (Segi Sosial Kemasyarakatan)
a) Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia.
b) Memberikan dukungan kekuatan bagi kaum Muslimin dan mengangkat eksistensi mereka. Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi sabilillah.
c) Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosial, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin.
d) Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.
e) Membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak pihak yang mengambil manfaat.

Hikmah Zakat
Hikmah dari zakat antara lain:
1. Mengurangi kesenjangan sosial antara mereka yang berada dengan mereka yang miskin.
2. Pilar amal jama'i antara mereka yang berada dengan para mujahid dan da'i yang berjuang dan berda'wah dalam rangka meninggikan kalimat Allah SWT.
3. Membersihkan dan mengikis akhlak yang buruk.
4. Alat pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan orang jahat.
5. Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan.
6. Untuk pengembangan potensi ummat.
7. Dukungan moral kepada orang yang baru masuk Islam.
8. Menambah pendapatan negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi ummat.

Zakat dalam Al Qur'an
QS (2:43) ("Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'".)
QS (9:35) (Pada hari d ipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.")
QS (6: 141) (Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan).



















PENUTUP

Zakat adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya) menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syarak. Banyak Faedah dan Hikmah dari berzakat. Zakat dapat meningkatkan toleransi, solidaritas antar sesama manusia dan menyeimbangkan antara Hablumminallah dan Hablumminannas.
Demikian makalah tentang zakat (berbagi dengan yang lain) yang saya buat, semoga dapat bermanfaat bagi masyarakat, mahasiswa, dan pembaca (khususnya). Kritik dan saran saya harapkan demi perbaikan pembuatan makalah berikutnya.