Senin, 11 November 2013

bid'ahkah hari asyura?


Hari ‘Asyura 10 Muharram antara Sunnah dan Bid’ah

Sesungguhnya Hari ‘Asyura (10 Muharram) merupakan hari bersejarah dan diagungkan dalam Islam. Hari ‘Asyura ini bersejarah karena pada hari ini Nabi Musa a.s. dan kaumnya terlepas dari kejaran Fir’aun laknatillah. Karena itu, menjadi tradisi bagi orang-orang Quraisy dan Yahudi pada masa Nabi Muhammad SAW melakukan puasa untuk dan mengenang dan sekaligus bersyukur terlepas dari musuh mereka. Nabi Muhammad SAW yang merupakan nabi terakhir melestarikan tradisi ini dengan melaksanakan puasa pada hari ini dan memerintah ummatnya melakukan hal serupa. Nabi SAW bersabda : كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِى الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُهُ ، فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يوْمَ عَاشُورَاءَ ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ Artinya: ”Di zaman Jahiliyah dahulu, orang Quraisy biasa melakukan puasa ’Asyura. Rasulullah SAW juga melakukan puasa tersebut. Tatkala tiba di Madinah, beliau melakukan puasa tersebut dan memerintahkan yang lain untuk melakukannya. Namun tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan puasa ’Asyura. (Lalu beliau mengatakan:) Barangsiapa yang mau, silakan berpuasa. Barangsiapa yang mau, silakan meninggalkannya (tidak berpuasa). (H.R. Bukhari) Dari Ibnu Abbas r.a., beliau berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ. فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ. Artinya: “Ketika tiba di Madinah, Rasulullah SAW mendapati orang-orang Yahudi melakukan puasa ’Asyura. Kemudian Rasulullah SAW bertanya, ”Hari yang kalian bepuasa ini hari apa?” Orang-orang Yahudi tersebut menjawab, ”Ini adalah hari yang sangat mulia. Ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya. Ketika itu pula Fir’aun dan kaumnya ditenggelamkan. Musa berpuasa pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun mengikuti beliau berpuasa pada hari ini”. Rasulullah SAW lantas berkata,” Kami seharusnya lebih berhak dan lebih utama mengikuti Musa daripada kalian.”. Lalu setelah itu Rasulullah SAW memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.”(H.R. Muslim) Dua hadits ini menunjukkan bahwa suku Quraisy berpuasa pada hari ‘Asyura di masa Jahiliyah, dan sebelum hijrahpun Nabi SAW telah melakukan puasa pada hari ini. Kemudian sewaktu tiba di Madinah, beliau temukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu, maka Nabi-pun berpuasa dan mendorong umatnya untuk berpuasa. Karena ibadah puasa ‘Asyura dilakukan juga oleh Yahudi, maka Rasulullah menganjurkan puasa pada hari kesembilan Muharram (Tasu’a) untuk menyelisih ibadah Yahudi. Ibnu Abbas beliau berkata : حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ: فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Artinya: ”Rasulullah SAW melaksanakan dan memerintah berpuasa pada Hari ’Asyuraa, ketika itu para sahabat berkata : ”Ya Rasulullah sesungguhnya hari Asyura itu merupakan hari yang dihormati oleh Yahudi dan Nashrani.” Rasulullah SAW menjawab : ”Apabila datang tahun depan, insya Allah kami berpuasa pada hari kesembilannya. Ibnu Abbas mengatakan : ”Tidak sempat datang tahun depan itu, karena Rasulullah SAW duluan wafat.” (H.R. Muslim) Lalu bagaimana dengan tradisi masyarakat kita yang merayakan 10 Muharram (‘Asyura) dengan berbagai amalan seperti memberikan makanan kepada fakir miskin, mandi, berdoa dan lain-lain, - yaitu amalan amalan yang dianjurkan pada setiap waktu tanpa dikaidkan dengan waktu tertentu - dengan niat bersyukur kepada Allah Ta’ala dan mengenang sejarah terlepas Nabi Musa a.s. dan kaumnya dari kejaran Fir’aun ? jawabannya selama amalan-amalan itu tidak ada unsur maksiat dan tidak dilarang agama, maka itu menjadi amalan shalihah, karena amalan tersebut termasuk dalam keumuman anjuran bersyukur dan mengambil i’tibar dengan peristiwa-peristiwa masa-masa lalu, apalagi ini merupakan peristiwa sejarah sangat penting dalam perjalanan syari’at Allah Ta’ala. Menurut hemat kami, amalan-amalan yang dianjur pada setiap waktu seperti memberikan makanan kepada fakir miskin, mandi, berdoa dan lain-lain apabila dilakukan pada 10 Muharram, maka dapat diqiyaskan kepada ibadah puasa yang dianjurkan dilakukan pada 10 Muharram dengan jalan kesamaannya (‘illah-nya) sama-sama merupakan amalan dalam rangka mengungkap rasa syukur dan mengenang sejarah terlepas Nabi Musa a.s. dan kaumnya dari kejaran Fir’aun. Sehingga memperingati 10 Muharram ini sama dengan memperingati hari-hari besar Islam lainnya seperti Maulid Nabi SAW, Isra’ Mi’raj, Nuzul Qur’an yang dianjurkan dalam agama meskipun tidak ada contoh secara detil dari Nabi SAW dan para Sahabat. Namun karena ada dalil dan didukung oleh qawaid agama secara umum, maka termasuk dalam katagori bid’ah hasanah. Dalam I’anah al-Thalibin, disebutkan sebagian ulama menghitung ada dua belas amalan yang dilaksanakan pada hari 10 Muharram (‘Asyura), diantaranya : 1. Shalat 2. Puasa 3. Silaturrahmi 4. Bersedekah 5. Mandi 6. Memakai celak 7. Ziarah orang ‘alim 8. Mengunjungi orang sakit 9. Mengusap kepala anak yatim 10. Memberikan kemudahan pada keluarga 11. Memotong kuku 12. Membaca Surat al-Ikhlas 1000 kali Namun sebelumnya, pengarang I’anah al-Thalibin mengutip perkataan al-Alamah al-Ajhuri yang dikutip dalam kitab al-Nufahaat al-Nabawiyah fil-Fadhail al-‘Asyuriyah, karya Syeikh al-‘Adawy bahwa hadits memakai celak (pada hari ‘Asyura) adalah mungkar menurut al-Hakim dan Ibnu Hajar mengatakan maudhu’. Selanjutnya al-‘Alamah al-Ajhuri mengatakan : Artinya: “Saya pernah menanyakan sebagian para imam hadits dan fiqh mengenai hadits memakai celak, memasak biji-bijian, memakai pakaian baru dan mendhahirkan kegembiraan, maka imam-imam tersebut mengatakan : “tidak datang padanya hadits shahih dari Nabi SAW dan tidak juga dari sahabat dan tidak juga datang dari salah seorang imam-imam kaum muslimin yang menganggap hal-hal itu adalah baik dan demikian juga apa yang dikatakan sesungguhnya barangsiapa yang memakai celak pada hari itu, maka dia tidak jatuh dalam kesusahan pada tahun itu dan barangsiapa yang mandi pada hari itu, maka dia tidak sakit pada tahun itu juga.” Selanjutnya pengarang I’anah al-Thalibin mengatakan alhasil hadits mengenai melakukan sepuluh perkara pada Hari ‘Asyura, tidak shahih padanya kecuali hadits puasa dan memberikan kemudahan pada keluarga . Dalam Nihayatul Zain, Nawawi al-Jawi mengatakan : Artinya: “Sungguh telah datang hadits mengenai puasa dan memberikan kemudahan pada keluarga (pada hari Asyura). Adapun selain keduanya tidak ada haditsnya.” Lalu kalau ada yang bertanya, bolehkah kita amalkan amalan-amalan yang tidak didukung hadits shahih di atas pada hari ‘Asyura untuk mengungkap rasa gembira atas terlepas Musa a.s. dan kaumnya dari kejaran Fir’aun sebagaimana Nabi SAW berpuasa pada hari ini dengan maksud yang sama, sementara amalan-amalan tersebut tidak didukung oleh hadits shahih ? Jawabannya : Selama amalan-amalan tersebut tidak diniatkan sebagai amalan yang hanya disunnahkan pada hari Asyura, bahkan amalan tersebut juga diqashad sebagai sunnah pada hari-hari lain, namun akan mempunyai keistimewaan tersendiri apabila dilakukan pada Hari Asyura dengan qashad mengamalkan amalan-amalan tersebut sebagai rasa syukur dan ungkapan rasa gembira atas terlepas Musa a.s. dan kaumnya dari kejaran Fir’aun. Misalnya shalat, kalau seseorang melakukan shalat sunnah mutlaq pada hari Asyura sebagai rasa syukur dan ungkapan rasa gembira atas terlepas Musa a.s. dan kaumnya dari kejaran Fir’aun, maka shalat ini tentu mempunyai nilai lebih dibanding shalat sunnah mutlaq yang dilakukan pada hari biasa. Namun kalau seseorang melakukankan shalat dengan qashad sebagai shalat yang khusus disunnahkan karena Hari Asyura, maka ini tentu bid’ah yang tercela, karena tidak ada hadits Nabi SAW dan para sahabat yang menunjukkan sunnah shalat ini. Seperti ini juga dijelaskan untuk amalan-amalan yang lain. Juga menjadi bid’ah tercela kalau dii’tiqad hanya dua belas perkara di atas yang menjadi amalan yang baik dilakukan pada hari Asyura. Jadi, semua amalan yang baik pada pandangan syari’at dan sunnah dilakukan kapan saja tanpa dibatasi waktunya serta sesuai dengan konteks ungkapan rasa syukur dan gembira atas terlepas Musa a.s. dan kaumnya dari kejaran Fir’aun, maka itu menjadi amalan yang baik dilakukan hari ‘Asyura. Adapun tradisi memperingati ‘Asyura karena berhubungan dengan terbunuh Saidina Husain, maka ini dua kelompok. Kelompok pertama : kelompok yang berduka cita atas terbunuh Saiyidina Husain, lalu mereka melakukan perbuatan seperti meratap, menyakiti tubuh, merobek-robek pakaian sebagai ungkapan rasa duka cita. Perbuatan-perbuatan ini termasuk bid’ah yang tercela, karena perbuatan ini menyerupai dengan perbuatan mungkar yang dilakukan kelompok Syi’ah. Dan lagi sebagaimana dimaklumi, syari’at kita mengharamkan berduka cita yang diungkap dengan meratap seperti menyakiti tubuh, merobek-merobek pakaian dan lain-lain. Kelompok kedua : kelompok yang bergembira dengan terbunuh Saiyidina Husain. Kelompok ini merayakan ‘Asyura dengan menjadikan ‘Asyura sebagai hari hari raya. Mereka mendhahirkan perasaan gembira atas terbunuh Saiyidina Husain dengan melakukan permainan-permainan dan lain-lain. Kelompok ini juga termasuk dalam kelompok pembuat bid’ah yang tercela, bahkan termasuk dosa yang sangat besar, karena mereka telah bergembira dengan terbunuhnya seorang mukmin, apalagi ini bergembira dengan terbunuhnya cucu Rasulullah SAW yang semestinya wajib kita beri penghormatan yang lebih kepada beliau.

Sabtu, 12 Oktober 2013

Merajuk

Semenjak aku dijodohkan dengan orang yang kukenal dan kusayang,aku sedah merasa seperti lelaki yang pengecut dan lemah...
Tetapi itu semua hilang dikarenakan ibu dan orang tua yang kukenal.....
pada tanggal 04 oktober 2013 aku memutuskan untuk berusaha sendiri dengan tekad untuk tidak menyusahakan orang lain.... ku harap mulut ini akan mengeluRkan kata-kata "menyoe memang hek neupike dan loen pih sadar selaku aneuk tuloet yang manteng kakak dan abang yang golom kawen,maka loenka hanjeut loen bantu kakeuh loen memilih untuk berusaha sendiri untuk kawen. Menyoe memang singoh loen kana kesanggupan,maka loen akan loen lake tulong untuk neu ek saksi atas pernikahan loen dan neu intat lintoe loen serta restu dan ridhai dari ureung droeneuh. Keun berarti loen ka bengeh atoe hana loen hargai bantuan ureung droeneuh. Loen lage nyoe karena loen sadar bahwa loen manja dan hana loen usaha keudroe..."
semoga jalan ini menjadi jalan yang terbaik.....

Kamis, 26 September 2013

Ayo bernyanyi

Hum tere bin ab reh nahi sakte Tere bina kya wajood mera (x2)

Tujhse juda gar ho jaayenge Toh khud se hi ho jaayenge judaa

Kyunki tum hi ho Ab tum hi ho Zindagi ab tum hi ho Chain bhi, mera dard bhi Meri aashiqui ab tum hi ho

Tera mera rishta hai kaisa Ik pal door gawara nahi Tere liye har roz hai jeete Tujh ko diya mera waqt sabhi Koi lamha mera na ho tere bina Har saans pe naam tera

Kyunki tum hi ho Ab tum hi ho Zindagi ab tum hi ho Chain bhi, mera dard bhi Meri aashiqui ab tum hi ho

Tumhi ho... Tumhi ho... Tere liye hi jiya main Khud ko jo yun de diya hai Teri wafa ne mujhko sambhala Saare ghamon ko dil se nikala Tere saath mera hai naseeb juda Tujhe paake adhoora naa raha hmm..

Kyunki tum hi ho Ab tum hi ho Zindagi ab tum hi ho.. Chain bhi, mera dard bhi Meri aashiqui ab tum hi ho (x2)

Minggu, 30 September 2012

Irfan Lelamo starrrrrrr: A. Pengertian Aqidah Akhlak

Nawar Paloh starrrrrrr: A. Pengertian Aqidah Akhlak: 1. Pengertian Aqidah Secara etimologis ( lughat ), aqidah berakar kata dari kata aqada-ya’qidu-aqdan-aqidatan . Aqdan berarti simp...

Sabtu, 29 September 2012

Ahlusunnah Waljamaah

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada era zaman akhir ini bermunculan Aliran-aliran yang beraneka ragam corak dan warnanya. Dimana masing-masing aliran mengklaim bahwa golongan merekalah yang paling benar.
Memang hal ini sudah disabdakan oleh Baginda Rosululloh SAW,bahwa umatnya nanti akan terpecah menjadi 73 golongan. Dan hanya satu yang selamat dan akan masuk syurga.
Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui ciri-ciri golongan yang di janjikan Rosulullah. Agar kita selamat. Atas dasar inilah, saya akan membahas tentang golongan yang setia pada Rosulnya dan sahabatnya yang kita kenal dengan golongan ASWAJA.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
2. Siapakah Aliran-aliran ASWAJA?
3. Apa sajakah Ajaran-ajaran ASWAJA?
4. Apa sajakah doktrin-doktrin ASWAJA?
5. Bagaimana metodologi pemikiran ASWAJA?



BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ahlussunah Wal jama’ah
1. Ditinjau dari ilmu bahasa (lughot/etimologi), Ahlussunah Wal Jama’ah berasal dari kata-kata:
a. Ahlu : Kaum.keluarga atau golongan
b. Assunnah :
1) Ucapan nabi muhammad SAW
2) Tingkah laku, kebiasaan, atau perbuatan nabi muhammad SAW
3) Persetujuan atau slkap nabi muhammad SAW, mendiamkan ucapan atau tingkah laku seseorang pada zaman nabi.
c. Wa : kata sambung yang berarti “dan”
d. Al jama’ah : Kumpulan atau kelompok
2. Di tinjau dari segi istilah ( terminologi), Ahlussunah berasal dari hadits-hadits nabi SAW antara lain:

والذي نفس محمّد بيده لتفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة, فواحدة فى الجنة وثنئان وسبعون فى النار, قيل:من هم يارسول الله ؟قال:هم اهل السنة والجماعة,(رواه الطبرنى)
Demi tuhan yang jiwa Muhammad ada dalam genggamanNya, umatku akan bercerai berai ke dalam 73 Golongan. Yang satu masuk syurga dan yang 72 masuk neraka. Ditanyakan:”siapakah mereka(golongan yang masuk surga itu), wahai Rosulullah?”. Beliau Menjawab: “mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah”,(HR, Thabrani)

تفترق هذه الامة على ثلاث وسبعين فرقة الناجية منها واحدة وا لبلقون هلكى قالو ومن الناجية؟قال اهل السنة والجماعة قيل وما السنة والجماعة ؟قال ماا ناعليه اليوم واصحابي
Umat ini nantinya juga akan terpecah menjadi 73 sekte, satu yang selamat, yang lainnya dalam kerusakan. Sahabat bertanya,Siapa yang selamat?” Nabi menjawab: “Ahlus sunnah Wal Jama’ah”. Mereka bertanya kembali: “siapa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah?” Jawab nabi:”Adalah apa yang aku dan sahabatku praktekkan hari ini”.

Dalam buku lain di jelaskan:”Ahlus sunnah Wal Jama’ah adalah golongan umat islam yang selalu berpegang teguh pada kitab allah ( al-qur’an) dan susunah rosul,serta para sahabat Nabi SAW, Melaksanakan petunjuk dari al-qur’an dan sunah rosul tersebut.[1]
Faham atau aliran ASWAJA dalam bidang:
a. Aqidah Islamiah, mengikuti faham atau madzab dari imam Abul Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi
b. Fiqih, mengikuti salah satu dari madzab yang empat, yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali
c. Tasawuf, mengikuti thariqah dari Imam Abul Qosim Al Junaid Al Baghdadi, Imam Ghozali.
Sehingga apabila di ucapkan secara mutlak kata-kata ASWAJA maka kita tidak dapat menunjuk kecuali orang-orang tersebut di atas.[2]

B. Aliran – aliran ASWAJA
1. Biografi Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan Ali Bin Ismail bin Ishak bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari. Menurut beberapa riwayat, Al- Asy’ari lahir di Bashar pada tahun 260 H/875M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/935M.
Menurut Ibn Asakir, ayah Al-Asyr’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunah dan ahli hadis. Ia wafat ketika Al-Asy’ary masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-saji agar mendidik As-Sy’ary. Ibu As-Asy’Ari, sepeningal ayahnya, menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali Al- Jubba’i ( w. 303 H/915 M), ayah kandung abu Hasyim Al-Jubba’i (w. 321 H/932 M). Berkat didikan ayah tirinya itu, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Ia sering mrngantikan Al- Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah.
Beliau menganut faham mu’tazilah hanya sampai berumur 40 tahun. Setelah itu tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid bashroh bahwa dirinya telah meninggalkan faham mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya,menurut ibn asakir hal itu di latar belakangi karna beliau bermimpi bertemu nabi sebanyak 3 kali, pada malam ke-10, 20,dan 30 dalam bulan romadhon. Dalam mimpinya itu rosulullah memperingatkan agar meninggalkan paham mu’tazilah dan membela faham yang telah di riwayatkan beliau.
Ø Doktrin-doktrin Teologi Al-Asyari
Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang paling terpenting adalah berikut ini:
a) Tuhan dan Sifat-sifatnya
b) Kebebasan dalam berkrhendak
c) Akal dan Wahyu Dan kriteria Baik dan Buruk
d) Qodimnya Al-Qur’an
e) Melihat Allah
f) Keadilan
g) Kedudukan orang yang berdosa[3]
2. Biografi Al-Maturidi
Abu Mansyur al-Maturidi Nama lengkapnya ialah Abu mansur Muhammad bin Muhammadbin Mahmud al-Hanafi al-Mutakallim al-Matu-ridi al-Samarkhandi.[4] Beliau dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang di sebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun 333H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268H. Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakkil yang memerintah tahun 232-274/846-861 M.
Ø Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi
a) Akal dan Wahyu
b) Perbuatan Manusia
c) Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
d) Sifat Tuhan
e) Melihat Tuhan
f) Kalam Tuhan
g) Perbuatan Manusia
h) Pengutusan Rasul
i) Pelaku Dosa Besar[5]
C. Ajaran-ajaran ASWAJA
1. Sifat Tuhan
Menurut mu’tazilah Tuhan tidak mempunyai sifat. Sebab jika tuhan mempunyai sifat, pasti sifat itu kekal seperti tuhan. Berkaitan dengan masalah tuhan Al-Maturidi dan Al-Asy’ari sependapat. Tapi walaupun begitu al-Asy’ari mengartikan sisat tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri. Sedangkan al-Maturidi sifat tidak dikatakan esensiNYA dan bukan pula dari esensi NYA.
2. Melihat Tuhan di akhirat
Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan tidak bisa di lihat.surat al an’am 103. Menurut al Asy’ari manusia dapat melihat tuhan di akhirat sebagaimana arti lahir surat qiyamah 22-23. Al-Maturidi sependapat dengan Beliau. Jalan pikiran Al-Maturidi bahwa melihat Allah itu ihwal di Akhirat, dimana hanya ilmunya yang menentukan bagaimana cara dan keadannya.
3. Perbuatan dosa besar
Bahwa setiap orang mukmin tidak kekal di neraka di sepakati seluruh ulama islam, Menurut kaum mu’tazilah pembuat dasa besar yang tidak sempat bertaubat sebelum meninggal dunia tidak di pandang mukmin tapi tetap muslim. Menurut Maturidi dan Asy’ari hukumnya di serahkan kepada Allah, apakah dia diampuni,mendapat syafa’at nabi atau di siksa sesuai perbuatannya. Dan tidak kekal di neraka.
4. Perbuatan Manusia
Mu’tazilah bahwa manusi itulah yangmenciptakan perbuatannya sendiri, dan bebas memilih yang baik dan yang buruk, karana segala sesuatunya akan di tanggung sendiri. Asy’ari manusia dalam kelemahannya bergantung pada kehendak dan kekuasaan tuhan. Maturidi sependapat dengan asy’ari.
5. Perbuatan Allah
Orang-orang Asy’ariyah berpendapat bahwa Allah tidak di ketahuinya. Karna ia tidak bertanggung jawa terhadap apa yang di perbuatnya. Sedangkan manusia bertanggung jawab.Mu’tazilah, Allah berbuat karna ada tujuan maksud tertentu. Maturidi Allah itu suci (munazzah) dari sia-sia. Dan karna itu perbuatannya sesuai dengan tuntutan hikmah.
6. Al-Qur’an
Mu’tazilah mengingkari adanya sifat bagi Allah yang namanya kalam, yang bebas dari dzat atau bukan dzat. Asy’ari bahwa al-Qur’an tidak berubah, tidak di ciptakan, bukan makhluk dan tidak baharu. Maturidi, Kalamullah itu adalah makna yang melekat pada dzat Allah, dan karna itu ia adalah salah satu sifat yang brhubungan dengan dzatnya.
7. Kekuasaan mutlak tuhan dan keadilan tuhan[6]
D. Garis-garis Besar Doktrin ASWAJA
Bahwa ajaran islam itu terdiri dari 3 macam :
1. Doktrin keislaman, yang digunakan untuk membimbing manusia selaku makhluk yang mempunyai nafsu
2. Doktrin keimanan, yang digunakan manusia untuk membimbing manusia selaku makhluk yang mempunyai akal pikiran
3. Doktrin keihsanan, yang digunakan untuk mmbimbing manusia selaku makhluk yang mempunyai budi pekerti /hati nurani
Ke-3 ajaran islam tersebut di namakan fitrah munazaah,sedangkan nafsu,fikiran dan hati nurani di namakan fitrah mukhalaqoh.

E. Metodologi Pemikiran (Manhaj Al-fikr) ASWAJA
Jika kita mencermati doktrin-diktrin paham ASWAJA, baik dalam aqidah(iman), Syari’at(islam), ataupun Akhlak (ihsan), maka bisa di dapati sebuah metodologo islam di antaranya:
1. Tasawuth (moderat)
Taswuth adalah sikap tengah yang tidak cenderung ke kanan atau ke kiri dan mengambil solusi yang paling baik. Hal ni di dsarkan pada firman Allah:


2. Tawazun (berimbang)
Tawazun adalah sikap berimbang dan harmons dalam mengintegrasikan dan mensinergikan dalil- dalil (pijakan hukum) pertimbangan – pertimbangan untuk memutuskan sebuah keputusan dan kebijakan prinsip menhindari yang serba kanan dan kiri. Seperti firman Allah:


3. Ta’adul ( netral dan adil)
Adalah sikap adil dan netral dalam melihat /menimbang, menyikapi dan menyesesaikan segala permasalahan. Apbala dalam realitasnya terjadi tafdlul (keungulan) maka keadilan mununtut perbedan dan pengutamaan (tafdllil)
ياايّهااّلذين أمنواكونواقوّامِين للّه شهداء باالقسط ولا يحرمنّكم شنأن قومٍ عَلَى اَلاَّ تعِدلوا اعدلوا هواَقْرب للتَّقوى
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan ( kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karna adil itu lebih dekat kepada taqwa.(Al-Maidah:9)

4. Tasamuh
Sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan, perbedaan dan keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, suku, bangsa, agama, tradisi budaya dll.
ياَايّهاَالنَّاس انّا خلقنا كم من ذَكرٍوَاُنثَى وجعلناَكُم شُعُوبًا وقبَائلُ لِتَعَارفُوا انّ أكرمكم عِند اللهِ اتقَاكُم,
Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.(QS. Alhujurat:13)
F. Tujuan ASWAJA
1. Mengamalkan Ajaran Rosulullah SAW semurni-murninya.
2. Mengikuti jejak para sahabat dalam mengambil keputusan-keputusan suatu perkarayang tidak di temukan dalam Al-qur’an dan Al-hadits.
3. Mengedepankan Akhlaul karimah dalam setiap tindakannya.
4. Khusus untuk golongan ASWAJA di Indonesia, ingin menjadikan bangsa indonesia, bangsa yang bermaartabat di mata dunia juga di hadapan Allah SWT
5. Ingin menjadi khairul ummah dalam ridho Allah SWT



BAB III
KESIMPULAN
A. Pengertian ASWAJA
Ahlus sunnah Wal Jama’ah adalah golongan umat islam yang selalu berpegang teguh pada kitab allah ( al-qur’an) dan susunah rosul,serta para sahabat Nabi SAW, Melaksanakan petunjuk dari al-qur’an dan sunah rosul tersebut.
B. Aliran-aliran ASWAJA:aliran Al-Asy’ariyah dan Al-Maturidi
C. Ajaran ASWAJA:Sifat Tuhan, Melihat Tuhan Di akhirat, Perbuatan dosa, besar, Perbuatan manusia,Perbuatan Allah, dll
D. Doktrin ASWAJA: Doktrin Keislaman, keihsanan dan ke imanan.
E. Metodologi pemikiran ASWAJA;Tasawuth, Tawazun, Ta’adul’ Tasamuh.
F. Tujuannya untuk mengamalkan Ajaran Rosulullah dan mengikuti jejak para sahabat serta menjadi khoirul umah dalam ridho allah SWT


DAFTAR PUSTAKA

Masduki ach.K.H. Drs, konsep dasar pengertian Ahlus sunnah Wal Jama’ah, Pelita Dunia, surabaya.
Purna siswa Aliyah, Aliran-aliran Teologi islam, Ponpes lirboyo, kediri,2008.
Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung,2007.
Baehaqi Imam, Kontroversi ASWAJA, LkiS, Yogyakarta,2000.

[1] Purna siswa Aliyah, Aliran-aliran Teologi Islam (jawa timur:Maddrasah hidayatul Mubtadi’in 2008), 165
[2] K.H. Masduki ach, Konsep Dasar Pengertian Ahlus sunnah Wal Jama’ah, 38-39
[3] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung:CV Pustaka Setia,2007),120-124
[4] Imam Baehaqi, Kontroversi Aswaja, (Yogyakarta:Gambiran UHV,2000),70
[5] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, 124-131
[6] Imam Baehaqi, Kontroversi Aswaja, (Yogyakarta:Gambiran UHV,2000),