Minggu, 23 Oktober 2011

asa hukum peradilan indonesia


                                                                       BAB I
                                                             PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
        Peradilan adalah proses pemberian peradilan di suatu lembaga yang disebut pengadilan. Pengadilan adalaj lembaga atau badan yang bertugas menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam mengadili dan menyelesaikan suatu perkara yagn teletak dalam proses pemberian keadilan tersebu yang dilakukan oleh hakim, baik hakim tunggal maupun majelis. Oleh karena itu hakim merupakan unsure yang sangat penting dalam sebuah peradilan.
       Peradilan agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan hukum agama Islam kepada orang-orang Islam yang dilakukan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
Peradilan Agama, dalam system peradilan nasional Indonesia, di samping Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara, merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Negara Republlik Indonesia. Dan keempat lembaga peradilan itu memiiliki kedudukan yang sama sederajat dengan kekuasaan yang berbeda.
Dalam menjalankan aktifitasnya, Peradilan Agama memiliki sumber hukum yang jelas dalam mematok atau melakukan proses peradilan itu sendiri.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang, maka rumusan masalah yang dikemukakan dalam makalah ini adalah,
1.      Sumber hukum apa saja yang digunakan oleh Peradilan Agama?






                                                                    
                                                                    BAB II
                                                             PEMBAHASAN

A. ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
1. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
a. Asas Bebas Merdeka
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negarayang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukumRepublik Indonesia.
Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan “Kekuasaan kehakiman yang medeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan undang-undang.”

b. Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

c. Asas Ketuhanan
Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”

d. Asas Fleksibelitas
Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.

e. Asas Non Ekstra Yudisial
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.

f. Asas Legalitas
Peradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Pada asasnya Pengadilan Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan.
Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hokum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.

2. Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
a. Asas Personalitas Ke-islaman
Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama.
Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman adalah :
1) Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.
2) Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah.
3) Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.

Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadila Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan. Sehingga apabila seseorang melangsungkan perkawinan secara Islam, apabila terjadi sengketa perkawinan, perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute peradilan agama, walaupun salah satu pihak tidak beragam Islam lagi (murtad), baik dari pihak suami atau isteri, tidak dapat menggugurkan asas personalitas ke-Islaman yang melekat pada saat perkawinan tersebut dilangsungkan, artinya, setiap penyelesaian sengketa perceraian ditentukan berdasar hubungan hukum pada saat perkawinan berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada saat terjadinya sengketa.
Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat terjadinya hubungan hukum, artinya patokan menentukan ke-Islaman seseorang didasarkan pada factor formil tanpa mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah melekat asas personalitas ke-Islaman. Faktanya dapat ditemukan dari KTP, sensus kependudukan dan surat keterangan lain. Sedangkan mengenai patokan asas personalitas ke-Islaman berdasar saat terjadinya hubungan hukum, ditentukan oleh dua syarat : Pertama, pada saat terjadinya hubungan hukum, kedua pihak sama-sama beragama Islam, dan Kedua, hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.

b. Asas Ishlah (Upaya perdamaian)
Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiapperselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.

c. Asas Terbuka Untuk Umum
Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradila Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004.
Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan siding tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama).

d. Asas Equality
Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang fundamental dalam upaya menerapkan asas “equality” pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan adalah :
1) Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equal before the law”.
2) Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law”
3) Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal justice under the law”.

e. Asas “Aktif” memberi bantuan
Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.

f. Asas Upaya Hukum Kasasi
Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

g. Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

h. Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi)
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

B. SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama ataupun Peradilan Umum antara lain:
1. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (R.Bv), Hukum acara ini diperuntukkan golongan Eropa yang berperkara dihadapan Raad van Justitie dan Residentie Gerecht. Ketentuan ini ditetapkan dengan Stbl. 1847 No. 52 dan Stbl. 1849 No. 63 yang berlaku sejak tanggal 01 Mei 1848. Dengan dihapuskannya Raad van Justitie dan Hoorgerechtshof, maka B.Rv yang ini sudah tidak berlaku lagi. Akan tetapi banyak hal dalam B.Rv yang masih relevan dengan perkembangan hukum serta untuk mengisi kekosongan hukum, maka ketentuan dalam B.Rv masih banyak dipakai dalam pelaksanaan hukum acara di lingkungan Peradilan Umum. Seperti formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat, intervensi dan lainnya.
2. Inlandsch Reglement (IR), Ketentuan hukum acara ini digunakan bagi golongan Bumiputera dan Timur Asing yang menduduki wilayah Jawa dan Madura. Setelah beberapa kali perubahan dan penambahan ketentuan hukum acara ini diubah menjadi Herziene Inlandsch Reglement (HIR) atau disebut juga Reglement Indonesia yang diberlakukan dengan Stbl. 1848 No. 16 dan Stbl. 1941 No. 44.
3. Voor De Buitengewesten (R.Bg), Ketentuan hukum acara ini digunakan bagi golongan Bumiputera dan Timur Asing yang menduduki wilayah di luar Jawa dan Madura yang berperkara dihadapan landraad. R.Bg ini ditetapkan berdasarkan Ordonasi tanggal 11 Mei 1927 dan berlaku berdasarkan Stbl. 1927 tanggal 01 Juli 1927 yang dikenal dengan “Reglement Daerah Seberang”.
4. Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia (BW), Dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata khususnya buku IV tentang Pembuktian (pasal 1865 s/d 1993).
5. Wetboek van Koophandel (WvK), WvK dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata sebagai sumber penerapan acara dalam praktek peradilan.
WvK ini diberlakukan dengan Stbl. 1847 No. 23 kaitannya dengan Hukum Acara Perdata diatur dalam Failissements Verordering (aturan kepailitan) yang diatur dalam Stbl. 1906 No. 348.















                                                                  
                                                                  BAB III
                                                                PENUTUP


A. KESIMPULAN
1. Hukum Peradilan Agama diatur dalam Undang-undang Peradilan Agama, terdiri dari VII bab, 108 pasal. Hukum acara peradilan Agama diatur dalam bab IV.
2. Sumber Hukum Peradilan Agama tidak terlepas dari aturan Hukum Islam, atau dan tidak bertentangan dengan Hukum Islam baik yang berkaitan dengan hukum materil (yuridis materiil) maupun hukum formil (yuridis formil).

                                                                 



                                                               DAFTAR PUSTAKA


Bahan Penyuluhan Hukum, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Departemen Agama RI Tahun 2001.
Rasyid, A. Roihan, Hukum Acara Peradilan Agama, Radja Grafindo Persada: Jakarta, 2003.
Sanusi, Achmad., Rangkaian Sari Kuliah Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, PT. Tarsit: Bandung, 1977.
Soedikno, Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty: Yogyakarta, 1988
Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta: Bandung, 1977.
, Undang-Undang RI No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar