Senin, 24 Oktober 2011

filsafat yunani


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Filsafat Yunani bukanlah hasil ciptaan filosof-filosof Yunani semata-mata, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai saingan (pilihan) dari kebudayaan Yunani sebelum masa berfilsafat, karena filsafat di Yunani mula-mula dimaksudkan untuk melepaskan diri dari kekuasaan golongan-golongan agama bersahaja dengan jalan menguji ajaran-ajarannya. Apa yang dapat dibenarkan oleh akal pikiran dinamakan filsafat, dan apa yang tidak dapat diterima oleh akal pikiran dimasukkan dalam “cerita-cerita agama”. Karena itu dalam filsafat Yunani terdapat unsur-unsur agama bersahaja (agama-agama berhala), antara lain kepercayaan tentang adanya banyak zat yang membekasi alam dan yang menjadi sumber segala peristiwanya, meskipun dalam bentuk yang berbeda dengan apa yang ada pada agama Yunani sendiri, karena zat yang berbilang dalam agama itu dinamakan ‘dewa-dewa’, sedang dalam filsafat disebut ‘akal benda-benda langit’, sebagaimana yang kita lihat antara ‘akal bulan’ dengan ‘akal manusia’. Menurut filsafat Yunani bukan hanya sebab yang pertama (first cause) yang mempengaruhi alam, tetapi juga ada kekuatan-kekuatan lain yang ikut serta mempengaruhinya yaitu akal-akal yang menggerakkan benda-benda langit.
Sejak akhir abad ke-19 hingga kini, salah satu persoalan besar yang diangkat para pemikir Muslim adalah sikap yang mesti diambil terhadap ilmu pengetahuan modern di dunia Barat. Perdebatan mereka dilatarbelakangi kesadaran bahwa dunia Islam pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan, tetapi pada Zaman Baru telah jauh tertinggal oleh dunia Barat. Perbincangan tentang Islam dan ilmu pengetahuan sejak akhir abad ke-19 itu memiliki dua aspek penting.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimanakah pengaruh hellenisme yunani?
2.      Bagaimanakah pengaruh islam dan ilmu pengetahuannya?

C.     TUJUAN
1.      Untuk mengetahui pengaruh hellenisme yunani.
2.      Untuk mengetahui pengaruh islam dan ilmu pengetahuannya.
BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengaruh Hellenisme Yunani
pemikiran filsafat Yunani ialah ketidak-selarasan, karena filsafat ini mula-mula terdiri dari bermacam-macam soal yang tidak selaras. Sampaipun orang-orang yang mempunyai pemikiran filsafat yang sistematis, seperti Plato dan Aristoteles, juga tidak terhindar dari ketidak-selarasan ini dalam pemikirannya. Karena dalam menguraikan sesuatu persoalan filsafat, mereka masih terpengaruh oleh pikiran-pikiran orang sebelumnya, dengan segala macam perbedaannya dan yang mengandung ketidak-selarasan pula. Sedang sistem filsafat mereka tidak lain hanyalah merupakan usaha secara luas untuk mencakup segala hasil pemikiran filsafat yang telah ada.
“Teori ide” dari Plato misalnya merupakan usaha pemaduan antara dua pemikiran yang berlawanan. Heraclitus dan pengikut-pengikutnya mengatakan bahwa segala sesuatu selalu berubah (perpetual flux, panta rhei) dan pendapat ini telah dirubah oleh Pythagoras tokoh aliran “Sofisme”, menjadi ajaran yang mengatakan bahwa “Perorangan menjadi ukuran segala sesuatu” (man  is the measure of all things). Kebalikan dari Heraclitus ialah Parmenides, terkenal dengan sebutan ajaran aliran “Elea”, yang mengatakan bahwa semua wujud ini satu, tidak ada yang banyak; yang satu tersebut tetap, dan dalam alam ini  tidak ada perubahan. Kedua pendapat yang berlawanan ini dipadukan oleh Plato dengan mengatakan adanya dua alam, yaitu “alam yang nyata’ (real) dan “alam indrawi” (sensible).
Pembagian Aristoteles terhadap wujud menjadi form dan matter merupakan bentuk lain dari cara penggabungan terhadap pendapat-pendapat Heraclitus dan Parmenides. Seperti halnya dengan Plato, Aristoteles mengatakan bahwa hanya zat yang ada dengan sendirinya dan tidak berubah-ubah (necessary and unchangeable) itulah yang bisa menjadi obyek pengetahuan. “Alam indrawi” (sensible things) mendatang kemudian dan bisa berubah-ubah, dan oleh karena itu bisa ada dan bisa tidak ada (to be and not to be possible both to be and not to be). Hanya zat yang bukan indrawi (non sensible) yang menjadi objek pikiran kita dapat tidak berubah,  dan tiap-tiap kejadian memerlukan adanya zat  yang tidak dijadikan (that all change presupposes an unchangeable and every becoming something that has not become).
Meskipun Plato dan Aristoteles telah berhasil memadukan pikiran-pikiran filsafat yang sebelumnya, namun keduanya tidak dapat melarutkannya sama sekali, karena pikiran-pikiran filsafat tersebut adalah pemikiran bermacam-macam aliran yang boleh jadi berbeda-beda pandangannya terhadap hidup dan alam ini. Aliran-aliran ini adalah:
  1. Aliran tabii (natural philosophy) dengan Democritus sebagai tokohnya dan filosofi-filosoflonia, yang menghargai alam dan wujud benda setinggi-tingginya. Karena itu menurut aliran ini alam itu abadi.
  2. Aliran ketuhana yang mengakui zat-zat yang metafisik, diwakili oleh aliran Elea dan Socrates, yang mengatakan bahwa sumber alam indrawi adalah sesuatu yang berada diluarnya.
  3. Aliran mistik dan Pythagoras sebagai tokohnya, yang bermaksud memperkecil atau mengingkari nilai alam indrawi, dan oleh karena itu aliran ini menganjurkan kepada manusia untuk meninggalkannya, serta menuju kepada alam yang penuh kesempurnaan, kebahagiaan dan kebebasan mutlak, sesudah terikat oleh benda alam ini.
  4. Aliran kemanusiaan yang menghargai manusia setinggi-tingginya dan mengakui kesanggupannya untuk mencapai pengetahuan, serta menganggap manusia sebagai ukuran kebenaran. Aliran ini diwakili oleh Socrates dan golongan “sofis” meskipun ada perbedaan antara dia dengan mereka.
Aliran-aliran filsafat tersebut sudah barang tentu mempengaruhi hasil pemikiran filosof-filosof  yang datang kemudian, bagaimanapun kuat dan besarnya filosof-filosof tersebut. Plato meskipun mengakui adanya Tuhan, tetapi tidak jelas pendapatnya tentang alam, qadim-kah atau hadis. Ia lebih condong kepada tasawuf, namun ia terkenal sebagai pencipta “teori universalitas” (kulliyat) dan logika seperti yang terlihat dalam bukunya yang berjudul Euthydemus dan Gorgias, sedang tasawuf berdasarkan mata hati”, dan logika berdasarkan pikiran.
Aristoteles adalah seorang monoisme, yang mengakui keesaan sumber alam semesta, yaitu Zat yang wajibul-wujud. Tetapi dalam pada itu ia membenarkan azali-nya alam keabadian jiwa, hal mana menyebabkan adanya pluralitas (bilangan) pada alam yang qadim. Ia mengarang buku Organon yang mengatur cara berpikir dan menciptakan adanya pengaruh akal bulan, sebagai benda langit yang terdekat dengan bumi, pada akal manusia. Meskipun Aristoteles telah lebih mampu dalam mempertemukan aliran-aliran filsafat yang hidup sebelum dia, namun hasil pemikirannya masih menunjukkan adanya ketidakselarasannya.
Ketidakselarasan ini menyebabkan adanya perbedaan yang agak jauh antara Plato dengan Aristoteles sendiri, meskipun ada usaha-usaha dari al Faribi dalam bukunya al Jam’u baina Sa’jai al Hakimain (Pemanduan pikiran-pikiran kedua filosof) untuk menghapuskan perbedaan-perbedaan itu, atau dengan mengatakan bahwa sebagai pendapatnya dikeluarkan pada masa-masa tertentu dan pendapat-pendapat lain dikeluarkan pada masa sesudahnya atau sebelumnya.
Akan tetapi bagi mereka yang mengetahui ciri-ciri khas pemikiran Yunani, sebagai pemikiran yang dipengaruhi oleh berbagai faktor atau aliran filsafat yang tidak seirama satu sama lain, maka tidak perlu  mengadakan pemaduan tersebut.
2.      Islam dan pengaruh ilmu pengetahuan.
Sejak akhir abad ke-19 hingga kini, salah satu persoalan besar yang diangkat para pemikir Muslim adalah sikap yang mesti diambil terhadap ilmu pengetahuan modern di dunia Barat. Perdebatan mereka dilatarbelakangi kesadaran bahwa dunia Islam pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan, tetapi pada Zaman Baru telah jauh tertinggal oleh dunia Barat. Perbincangan tentang Islam dan ilmu pengetahuan sejak akhir abad ke-19 itu memiliki dua aspek penting.
Pertama, periode tersebut ditandai banyak perkembangan baru dalam pemikiran Islam. Penyebab utamanya adalah kontak yang semakin intensif – pada beberapa kasus bahkan berupa benturan fisik – antara dunia Islam dan peradaban Barat. Gagasan seperti “kemodernan” serta “modernisme”, “westernisasi” atau pembaratan, dan “sekularisme” menjadi objek utama perhatian para pemikir Muslim. Demikian luasnya penyebaran gagasan baru itu sehingga tak berlebihan jika dikatakan bahwa pemikiran baru Islam lahir dari keinginan menanggapinya.
Kedua, sejak awal perkembangan Islam, ilmu -berdasarkan pengamatan, wahyu, atau renungan para sufi- sebagai induk ilmu pengetahuan selalu mendapatkan perhatian para pemikir Muslim. Bertemu dengan kecenderungan di atas, perhatian tersebut mengambil bentuk tanggapan terhadap perkembangan pesat ilmu pengetahuan modern di dunia Barat, yang dianggap tidak berinduk pada suatu ilmu yang benar. Tanggapan itu, karena lebih merupakan reaksi daripada usaha atas prakarsa sendiri, pada diri beberapa pemikir dan aliran pemikiran merupakan penyempitan wilayah wacana tentang ilmu dan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan periode sebelumnya, khususnya masa awal perkembangan intelektual Islam.
Sejak abad ke-19, usaha untuk memberi tanggapan itu melahirkan pemikiran tentang antara Islam dan ilmu pengetahuan yang amat beragam. Tanggapan tersebut dapat berarti usaha apologetis untuk menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Barat sebenarnya bersifat “islami”. Bisa pula merupakan usaha mengakomodasi sebagian nilai dan gagasan ilmu pengetahuan modern karena dianggap islami, sambil menolak sebagian lain. Tidak pula bisa dilupakan usaha “islamisasi” berbagai cabang ilmu pengetahuan dan penciptaan suatu “filsafat ilmu pengetahuan Islam”. Akhirnya ada upaya rekonstruksi pandangan dunia serta epistemologi Islam.
Kesemua tanggapan itu dapat dikelompokkan ke dalam dua wacana besar. Pembagian atas dua wacana ini sebagian bersifat kronologis dan sebagian lagi tematis. Wacana pertama, yang berkembang sejak abad ke-19, terfokus pada penegasan bahwa tidak terdapat pertentangan antara ilmu pengetahuan dan Islam. Penegasan tersebut didasarkan pada pandangan instrumentalis tentang ilmu pengetahuan, artinya pandangan bahwa ilmu pengetahuan sekedar alat dan tidak terikat pada nilai atau agama tertentu. Sementara hingga kini wacana tersebut masih kerap muncul, ada pula wacana baru yang mendominasi perbincangan tentang ilmu pengetahuan dan Islam sejak setidaknya akhir tahun 1960-an, yaitu tentang “islamisasi” ilmu pengetahuan.









BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
“Teori ide” dari Plato misalnya merupakan usaha pemaduan antara dua pemikiran yang berlawanan. Heraclitus dan pengikut-pengikutnya mengatakan bahwa segala sesuatu selalu berubah (perpetual flux, panta rhei) dan pendapat ini telah dirubah oleh Pythagoras tokoh aliran “Sofisme”, menjadi ajaran yang mengatakan bahwa “Perorangan menjadi ukuran segala sesuatu” (man  is the measure of all things). Kebalikan dari Heraclitus ialah Parmenides, terkenal dengan sebutan ajaran aliran “Elea”, yang mengatakan bahwa semua wujud ini satu, tidak ada yang banyak; yang satu tersebut tetap, dan dalam alam ini  tidak ada perubahan. Kedua pendapat yang berlawanan ini dipadukan oleh Plato dengan mengatakan adanya dua alam, yaitu “alam yang nyata’ (real) dan “alam indrawi” (sensible).
Di seberang para penggagas ilmu pengetahuan Islam ini tentu saja ada pendirian lain yang bertentangan. Pada umumnya pendirian ini mendapatkan argumen utamanya dengan menolak premis paling penting dalam argumentasi ilmu pengetahuan Islam itu, yaitu, bahwa ilmu pengetahuan tak bebas nilai. Implikasi praktisnya adalah pandangan instrumentalis: bahwa sebagai kumpulan instrumen yang bermanfaat secara praktis (terutama dalam penerjemahannya ke dalam teknologi) ilmu pengetahuan modern dapat dikembangkan dalam lingkungan Islam. Dan ini tak menafikan kemungkinan umat Islam untuk tetap hidup menuruti ajaran Islam, karena, sekali lagi, ilmu pengetahuan adalah alat, bukan tujuan.
Dalam sejarah Islam sendiri, para ilmuwan Muslim menyerap amat banyak unsur-unsur baru dari peradaban non-Islam. Di kalangan ilmuwan Muslim, ada banyak temuan yang berkaitan dengan masalah keimanan yang mendasar, dan beberapa di antaranya saling bertentangan. Persoalannya kemudian adalah menguji kesesuaian temuan-temuan itu dengan ajaran al-Qur'an. Bagi Rahman, sebetulnya inilah yang merupakan tugas mendesak. Setelah ini, dengan kriteria yang sama, yaitu al-Qur'an, tradisi intelektual Barat juga harus dinilai. Dan kerja ini bukanlah kerja mekanis. Istilah "islamisasi" bagi Rahman mengesankan sifat mekanis ini. Karena seakan-akan dalam mengahadapi berbagai ilmu yang datang dari Barat - misalnya, teori-teori Durkheim dan Weber - kita akan duduk begitu saja dan mengislamisasikannya. Ini tak mengarah pada penciptaan ilmu yang kreatif.
Daftar pustaka
BASHAM, A.L., 1963, The Wonder that was India: A study of the history and culture of the Indian sub-continent before the coming of the Muslims. New York: Hawthorn Books.
CAIRNS, TREVOR, 1985, Men Become Civilized. Cambridge Introduction to the History Mankind. Cambridge: Cambridge University Press.
MULIA, T.S.G., 1959, India: Sedjarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. Djakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka.
Abaza, Mona, Some Reflections on The Question of Islam and Social Sciences in the Contemporary Muslim World, Social Compass, vol.2, No.40, 1993, hlm. 301-321.
Acikgenc, Alparslan, Islamic Science, Towards A Definition, International Institute of Islamic Thought and Civilization, Kuala Lumpur , 1996.
Anees, Munawar Ahmad, Islam and the Biological Futures, Ethics, Gender and Technology, Mansell. London , 1989 (terj. Islam dan Masa Depan Biologis, Penerbit Mizan, 1991).
Al-Attas, Syed M. Naquib, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, International Institute of Islamic Thought and Civilization, Kuala Lumpur, 1995. (Bab berjudul "Islam and Philosophy of Science" telah diterjemahkan: Islam dan Filsafat Sains, Penerbit Mizan, 1995).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar