Senin, 24 Oktober 2011

hukum islam dan perubahan sosial


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Usaha untuk mewujudkan hukum baru nasional itu tetap berlangsung, walaupun berbagai kendala sejak semula juga terus menghadang, tidak hanya oleh penganut teori resepsi, yang masih banyak bercokol di tengah-tengah masyarakat Indonesia, terutama yang berasal dari kalangan perguruan tinggi hukum positif yang tidak menginginkan dominasi hukum Islam dalam hukum nasional, tetapi juga oleh kalangan ulama Islam sendiri yang masih memahami hukum Islam secara sepotong-potong dan terjebak dalam kerangka fanatisme mazhab yang sempit, sehingga kemudian lebih tersibukkan dengan berbagai pertikaian antara sesamanya dengan melupakan peningkatan kesadaran untuk melaksanakan hukum Islam itu dalam realitas kehidupan umat.
Tulisan ini akan mencoba untuk menggunakan kontribusi dan prospek hukum Islam terhadap pembinaan hukum nasional di Indonesia, meliputi beberapa aspek bahasan; 1) Esensi dan eksistensi hukum Islam, 2) Pelembagaan, pembaharuan dan pengembangan hukum Islam, 3) Prospek penerapan hukum Islam di Indonesia.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja yang menjadi landasan perubahan hukum islam dan perubahan sosial di indonesia.
2.      Bagaimanakah perkembangan hukum islam di masa penjajahan belanda dan jepang.
C.     Tujuan masalah
1.      Untuk mengatahui landasan perubahan hukum islam dan perubahan sosial di indonesia.
2.      Untuk mengetahui perkembangan hukum islam di masa penjajahan belanda dan jepang.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hukum Islam dan perubahan sosial
Hubungan teori hukum dan perubahan sosial merupakan salah satu problem dasar bagi filsafat-filsafat hukum. Hukum yang karena memiliki hubungan dengan hukum-hukum fisik yang diasumsikan harus tidak berubah itu menghadapi tantangan perubahan sosial yang menuntut kemampuan adaptasi dirinya. Seringkali benturan perubahan sosial itu amat besar sehingga mempengaruhi konsep-konsep dan lembaga-lembaga hukum, yang karenanya menimbulkan kebutuhan akan filsafat hukum Islam.
Argumen bahwa konsep hukum Islam adalah absolute dan otoriter yang karenanya abadi, dikembangkan dari dua sudut pandang. Pertama mengenai sumber hukum Islam adalah kehendak Tuhan, yang mutlak dan tidak bisa berubah. Jadi hal ini pendekatan ini lebih mendekati problem konsep hukum dalam kaitan perbedaan antara akal dan wahyu. Yaitu: (1) hukum dan teologi, (2) hukum dan epistemology. Sudut pandang kedua berasal dari difinisi hukum Islam, bahwa hukum Islam tidak dapat diidintifikasi sebagai system aturan-aturan yang bersifat etis atau moral. Jadi hal ini membicarakan kaitan perbedaan antara hukum dan moralitas.
Argumen-argumen yang dikemukakan oleh para pendukung keabadian Islam diringkaskan dalam tiga pernyataan umum:
1.      Hukum Islam adalah abadi karena konsep hukum yang bersifat otoriter, ilahi dan absolute dalam Islam tidak memperoleh perubahan dalam konsep-konsep dan institusi-institusi hukum. Sebagai konsekuwensi logis dari konsep ini, maka sanksi yang diberikannya bersifat ilahiyah yang karenanya tidak bisa berubah.
2.      Hukum Islam adalah abadi karena sifat asal dan perkembangannya dalam priode pembentukannya menjauhkannya dari institusi-institusi hukum dan perubahan sosial, pengadilan-pengadilan dan Negara.
3.      Hukum Islam adalah abadi karena ia tidak mengembangkan metodologi perubahan hukum yang memadai.[1]
Dalam literature hukum Islam kontemporer, kata “pembaruan” silih berganti dipergunakan dengan kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi, dekontruksi, rekontruksi, tarjid, islah dan tajdid. Diantara kata-kata itu yang paling banyak digunakan adalah kata-kata islah, reformasi, dan tajdid. Islah dapat diartikan dengan perbaikan atau memperbaiki, reformasi berarti membentuk atau menyusun kembali, tajdid mengandung arti membangun kembali, menghidupkan kembali, menyususn kembali atau memperbaikinya agar dapat dipergunakan sebagaimana yang diharapkan.[2]
Masyarakat senantiasa mengalami perubahan, dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, social ekonomi dan lainnya. Menurut para ahli linguistic dan sematik, bahasa akan mengalami perubahan sehingga diperlukan usaha atau ijtihad. Tentu kondisi suatu masyarakat akan berpengaruh terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh seorang mufti. Namun, ini berarti bahwa hukum tidak akan berubah begitu saja, tanpa memperhatikan norma yang terdapat dalam sumber utama hukum islam yaitu al-Quran dan Sunnah. Sejarah mencatat bahwa ijtihad telah dilaksanakan dari masa ke masa.[3]
Pendekatan secara historis, untuk memahami sifat dasar hukum Islam telah menyatakan hal-hal sebagai berikut, sebagai ciri khas hukum Islam:
1. Sifat idealistic
2. Religious
3. Kekakuan
4. Sifat kausistik



B.     Penyerapan hukum eropa dinegara dan dinegara muslim
Pengaruh dunia barat yang pertama dirasakan negara Islam dengan datangnya imperialisme pada awal abad ke-19, membuat wilayah Islam memiliki sistem hukum negara yang terbatas mengatur aspek hubungan publik, pribadi dan hubungan internasional, sistem hukum yang mereka gunakan bukan syari’ah. Undang-Undang Eropa yang dipaksakan pada negara-negara yang diduduki imperialis Inggris, Perancis, dan Belanda, bertentangan dengan kehendak masyarakat dan membuat kesal para ulama. Tahap demi tahap orang Islam yang berada dalam pengaruh penguasa-penguasa ini diberi peluang untuk menempuh studi yang lebih tinggi di negara-negara Eropa. Dengan demikian, para imperialis mendapat dukungan di wilayah jajahan dan masyarakat pribumi sehingga berpengaruh pada masyarakat dan bahkan para ulama.
Pengaruh sistem Hukum Eropa terhadap masyarakat Islam ditemukan dalam hukum publik meliputi konstitusi dan hukum pidana, transaksi sipil dan komersial. Ahli Hukum Eropa sangat pandai, mereka tidak mengubah hukum personal masyarakat Islam sekaligus melainkan secara pelan-pelan.
Imperium Turki Usmani, khalifah Islam pertama yang dipengaruhi sistem Hukum Eropa pada abad 19 melalui penyerahan kapitulasi. Kekuatan Barat diperkenalkan pada warga negara yang menetap di Timur Tengah sebagai pegawai negeri dan pedagang. Di negara-negara Asia Selatan dan Tenggara, dan Afrika Timur, dan Barat, para penjajah melakukan perdagangan. Dari sini hukum komersial Eropa dilaksanakan dalam sistem kapitulasi.
Negara yang dipengaruhi sistem hukum Eropa adalah negara-negara Magribi, yaitu Maroko, Tunisia, dan negara Nigeria di Afrika Barat.Dikalangan elit muslim terdidik Eropa, percaya pada ilmu Hukum Islam, terutama hasil dari inovasi hukum. Apabila seseorang mengaplikasikan hukum Islam yang tidak diketahui siapa pencipta dan kapan yurisprudensi itu dibuat, mereka pasti akan menyatakan keheranannya kepada hakim Islam yang sudah dapat mencapai tingkat kompetensi yudisial pada abad ke 7 dan 8, yang belum dapat mereka capai abad 19 dan 20. imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal beserta para pengikutnya, sudah dapat memikirkan masalah-masalah hukum 13 abad lebih awal sampai dewasa ini. Namun bagi mereka yang percaya ilmu Hukum Islam sebagai penemuan para ahli hukum tidak dapat disanksikan lagi keberadaannya. Mereka percaya bahwa hakim-hakim Islam itu telah dapat mendahului pemikiran manusia. Titik pandang yang benar para ahli Hukum Islam, pengetahuan yang luas dan refleksi yang sangat berkembang, benar-benar bukan dari imajinasi mereka sendiri.
Fakta yang mereka ketemukan dalam genggaman sistem yurisprudensi itu kaya akan teori-teori dan prinsip-prinsip yang komprehensif, mereka menjelaskan dan menganalisis sistem yurisprudensi Islam secara lengkap. Mereka tidak berlaku sebagai ahli hukum dan pemikir dengan mengumpulkan data yang tersedia dan menetapkan tiap teori yang relevan. Kemudian mereka mentabulasi setiap prinsip Hukum Islam. apabila terjadi inovasi atau berpikir ke depan, itu merupakan inovasi ilmu Hukum Islam yang merupakan perkembangan rasional manusia yang menyampaikan teori-teori untuk tujuan membina manusia menuju kemulyaan dan kesempurnaan dengan membawa mereka ke tingkat yang paling tinggi.
Di samping berbagai ragam kemajuan umat Islam dalam segala segi dan aspek pengetahuan manusia, sebagian ilmuwan Barat mengomentari tentang tumbuh suburnya kebudayaan negeri-negeri Islam pada abad pertengahan. Mereka mengatakan, rata-rata umat Islam dengan sedikit pengetahuan sejarah Islamnya akan merasa enggan menerima gambaran yang benar.
Dapat dikatakan bahwa negara-negara dan masyarakat Kristen Eropa pada dasarnya masih tetap statis, mungkin benar. Sumbangan peradaban Islam ke Eropa sangat besar dan benar-benar membantu untuk mencapai apa saja yang dapat mereka capai selama masa renaissance karena pengaruh pertemuan mereka dengan umat Islam dan karena ide-ide segar dengan hadirnya kaum muslimin yang ada di Eropa. Membantu premis yang keliru ini para ilmuwan barat berbalik menyatakan itu disebabkan karena negara dan masyarakat Islam tetap sekali. Hukum syari’ah telah terbukti dapat mengakomodasikan dirinya secara sukses terhadap pemenuhan kebutuhan internal sebagaimana yang sudah dikenal. Namun desakan yang kini (pada abad 19) timbul tanpa konfrontasi Islam dengan situasi yang berbeda. Pendapat ini sama sekali tidak benar karena desakan untuk mengadopsi sistem Hukum Barat yang didasarkan atas konsep-konsep dan  institusi-institusi mendasar yang asing bagi agama Islam dan hukum syari’ah tidak berasal dari orang-orang Islam melainkan dari kolonial Barat. Umat Islam di awal masa kolonial tidak ingin mengubah sistem Hukum Islam mereka dan tidak ingin mengadopsi nilai-nilai dan standar-standar Barat. Lembaran sejarah telah dipenuhi dengan banyak contoh oposisi umat Islam dengan perubahan yang dipaksakan dalam hukum agamanya. Akan tetapi, zaman dominasi asing telah membalikkan situasi secara drastis. Imperealis-imperealis Barat telah membantu umat Islam untuk mengatasi persoalan-persoalan yang mereka hadapi agar terhindar dari tekanan-tekanan pemerintah untuk mengadopsi sistem hukum baru. Akibatnya sangat sedikit hukum syari’ah di negeri-negeri Islam yang diketemukan, kecuali yang hanya dalam ruang lingkup hukum keluarga, namun ada pula istilah reformasi yang digunakan. Di seluruh negeri Islam, kecuali Saudi Arabia, sistem hukum yang diambil murni bukan hukum syari’ah dan bukan pula hukum Eropa yang dipraktekkan sampai sekarang.

C.    Hukum islam di masa penjajahan Belanda dan Jepang
Dalam lintas sejarah, hukum Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi empat periode,[4] dua periode sebelum kemerdekaan, dan dua lagi pasca kemerdekaan, kita akan membahas dua yang pertama ;
1.   Dua periode pertama, dapat dibagi lagi ke dalam dua fase sebagai berikut:
a.       Fase berlakunya hukum Islam sepenuhnya. Dalam fase ini, dikenal teori reception in complexu yang dikemukakan oleh L.W.C. Van Den Breg.
Menurut teori ini, hukum Islam sepenuhnya telah diterima oleh umat Islam[5] berlaku sejak adanya kerajaan Islam sampai masa awal VOC, yakni ketika Belanda masih belum mencampuri semua persoalan hukum yang berlaku di masyarakat.
Setelah Belanda dengan VOC-nya mulai semakin kuat dalam menjarah kekayaan bumi Indonesia, maka pada tanggal 25 Mei 1760 M pemerintah Belanda secara resmi menerbitkan peraturan Resolutio der Indischr Regeering yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
Peraturan ini memang tidak hanya memuat pemberlakuan hukum Islam dalam bidang kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan), tetapi juga menggantikan kewenangan lembaga-lembaga peradilan Islam yang dibentuk oleh para raja atau sultan Islam dengan peradilan buatan Belanda.[6]
Keberadaan hukum Islam[7] di Indonesia sepenuhnya baru diakui oleh Belanda setelah dicabutnya Compendium Freijer secara berangsur-angsur, dan terakhir dengan staatstabled 1913 No. 354.
Dalam Staatsbled 1882 No. 152 ditetapkan pembentukan Peradilan Agama di Jawa dan Madura, dengan tanpa mengurangi legalitas mereka dalam melaksanakan tugas peradilan sesuai dengan ketentuan fiqhi.[8]
2. Fase berlakunya hukum Islam setelah dikehendaki atau diterima oleh hukum adat. Dalam fase ini, teori Reception in Complexu yang pertama kali diperkenalkan oleh L.W.C. Van Den Breg itu[9] kemudian digantikan oleh teori Receptio yang dikemukakan oleh Cristian Snouk Hurgronye dan dimulai oleh Corenlis Van Vallonhoven[10] sebagai penggagas pertama.
Untuk menggantikan Receptio in Complexu dengan Receptio, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (I.S), yang sekaligus membatalkan Regeerrings Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 yang menganjurkan kepada hakim Indonesia untuk memberlakukan undang-undang agama.
Dalam I.S. tersebut, diundangkan Stbl 1929: 212 yang menyatakan bahwa hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Dan dalam pasal 134 ayat 2 dinyatakan:

"Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesame orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum Adat mereka menghendakinya, dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi".[11]
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dengan alasan hukum waris belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Stbl. 1937: 116 yang berisikan pencabutan wewenang Pengadilan agama dalam masalah waris (yang sejak 1882 telah menjadi kompetensinya) dan dialihkan ke Pengadilan Negeri.[12]
Dengan pemberlakuan teori Receptio tersebut dengan segala peraturan yang meninak-lanjutinya, di samping dirancang untuk melumpuhkan system dan kelembagaan hukum Islam yang ada, juga secara tidak langsung telah mengakibatkan perkembangan hukum Barat di Indonesia semakin eksis, mengingat ruang gerak hukum adat sangat terbatas tidak seperti hukum Islam, sehingga dalam kasus-kasus tertentu kemudian dibutuhkan hukum Barat.
Dengan demikian, maka pada fase ini hukum Islam mengalami kemunduran sebagai rekayasa Belanda yang mulai berkeyakinan, bahwa letak kekuatan moral umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak pada komitmennya terhadap ajaran Islam.























BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Berdasarkan berbagai uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prospek penerapan hukum Islam di Indonesia cukup cerah.
Kesimpulan tersebut didasarkan pada berbagai kenyataan positif, antara lain:
1.      Berbagai kebijakan dan kebijaksanaan pemerintah selaku penyelenggara Negara yang memberi peluang bagi berperannya hukum Islam.
2.      Telah terwujudnya berbagai peraturan dan perundang-undangan yang membuat hukum Islam menjadi lebih eksis sebagai sub system dalam system hukum nasional.
3.      Adanya upaya yang cukup maksimal dari kalangan umat Islam dan pakar hukum Islam melalui dakwah dan pendidikan, sehingga selain dapat lebih meningkatkan kualitas iman juga kesadaran untuk melaksanakan secara hukum secara maksimal.


















DAFTAR PUSTAKA

v  Khalid Mas’ud, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Surabaya: Al-Ikhlas,1995.
v  Huda, Miftahul, Filsafat Hukum Islam : Menggali Hakikat Sumber dan Tujuan Hukum Islam, Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2006.
v  Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademi Pressindo, 1992).
v  Djatmika, Rahmat, Jalan Mencari Hukum Islam, Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijtihad, dalam Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta: PP-IKAHA, 1994)
v  Ichjianto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum di Indonesia dalam buku Hukum Islam di Indonesia, Tjun Surjaman (ed), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991)



[1] Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, h. 27.
[2] Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, ( Jakarta: Kencana, 2006), h. 218.
[3] Miftahul Huda, Filsafat Hukum Islam : Menggali Hakikat Sumber dan Tujuan Hukum Islam, (Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2006), h. 139-140.

[4] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam buku Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, h. 200
[5] Rahmat Djatmiko, Sosialisasi Hukum Islam…, h. 231-232
[6] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1984), h. 12
[7] Ketika itu, hukum Islam diakui sebagai otoritas hukum, namun demikian keberadaan dan bentuknya masih sama dengan hukum adat yang tidak tertulis sebagaimana selayaknya peraturan perundang-undangan. Dan yang ada hanyalah kitab-kitab fiqhi yang masih berbentuk kajian ilmu hukum Islam dalam berbagai macam mazhab, walaupun mayoritasnya adalah mazhab Syafi'i. Lihat: Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Ed. I: Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), h. 15-29
[8] Munawir Sjadzali, Landasan Pemikiran Politik Hukum di Indonesia dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama di Indonesia, dalam Tjua Suryaman, Politik Hukum di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukannya, (Cet. I: Bandung: Raja Rosdakarya, 1991), h. 43-44
[9] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1990), h. 28; Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Tinta Mas, 1973), h. 13
[10] Mura Hutagalung, Hukum Islam dalam Era Pembangunan (Jakarta: Ind-Hill-CO, 1985, Cet I), h. 19
[11] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia…, h. 132
[12] Notosusanto, Organisasi dan Yurisprudensi Pengadilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1963), h. 9-10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar