Kamis, 27 Oktober 2011


KODE SCHOOL ID AS DAN SIMPATI
KODE SCHOOL ID kartu as

- SMA AL-FALAH school ID 330912035
- SMA NEG 01 school ID 330913214
- SMK PETRA school ID 340117414
- SMA ADVENT school ID 330915049
- SMA 3 RAJA school ID 330910888
- SMA NEG 02 school ID 331213201

- SMK NEG 01 KUALA KENCANA school ID 331214237
- SMP YPJ KUALA KENCANA school ID 331220884
- SMP YAPIS school ID 331222122
- SMP NEG 4 school ID 331220189
- SMP NEG 2 school ID 331226551
- SMP NEG 3 school ID 331229345
- SMAN 2 JOGJAKARTA school ID 331213201

caranya ketik :
SEKOLAH(spasi)SCHOOL ID kirim ke 4545

atau:

ketik KAMPUS UNPAD kirm ke
8888 tunggu ada blsan dlu klo sdh da sms balasan,ikuti trus pa yg da d
sms trsbut klo sdh trdftr ketik FC ON 10000 kirm ke 3636 klo sdh ada
blsm dari 3636 kekik FC ya krm ke 3636 lg ingat...!

atau:

Cr daftar: *355*6*skul id#


Cara daftar, ketik:
KAMPUS KodeKampus
Kirim ke 8888

Daftr tsel flash diskon 50%, ketik:
FC ON 10000
Kirim ke 3636

Senin, 24 Oktober 2011


STUDI ISLAM DAN PENGETAHUAN MANUSIA SECARA UMUM


STUDI ISLAM DAN  PENGETAHUAN MANUSIA SECARA UMUM


A.    Pendahuluan

Kajian tentang Islam tidak hanya terkait dengan persoalan ketuhanan atau keimanan saja, akan tetapi juga mencakup tentang sejarah kebudayaan Islam, masyarakat sosial muslim dan kajian-kajian kebudayaan bercorak Islam lainnya. Kajian ilmiah tentang Islam dapat dibedakan antara Islam yang merupakan segabai sumber dan Islam sebagai pemikiran serta Islam dalam pengamalan penganutnya.
Agama Islam, di samping sebagai keyakinan yang dianut oleh manusia dengan corak spritualnya, juga harus dipelajari sebagai objek kajian Ilmiah yang menarik.. Alasannya adalah karena selain Agama dapat mempengaruhi semangat kerja, semangat juang dan berkorban bagi pemeluknya, Islam juga merupakan budaya bahkan sejak lama telah menjelma menjadi budaya, Islam mempunyai masyrakat. Bila Islam adalah budaya dan mempunyai masyarakat maka ia layak dikaji ilmiah dengan berbagai pendekatan. Di beberapa perguruan tinggi, kajian tentang Islam telah menjadi bagian kajian ilmiah, misalnya McGill University, Sarbonn University, dan lain-lain.
Pada bagian berikutnya kajian Islam berkembang, tidak hanya mengkaji tentang ketuhanan, tetapi juga mengkaji tentang ilmu-ilmu kealamam, sosial serta kemanusiaan. Pada kesempatan ini pemakalah ingin menguraikan secara ringkas keberadaan studi Islam dalam kajian ilmiah, hubungan dan implikasinya terhadap bidang ilmu kealaman, sosial, dan humaniora, studi Islam dalam tiga kelompok ilmu tersebut serta bagaimana pendekatan inter-disiplin dan multi-disiplin ilmu-ilmu ini dalam studi Islam.




B.    Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan dari aspek pragmatis ilmu, terbagi kepada dua. Pertama  ilmu kealaman seperti: Fisika, Kimia, Biologi yang bertujuan mencari hukum-hukum alam atau mencari keteraturan-keteraturan yang terjadi pada alam. Kedua ilmu budaya yang mempunyai sifat tidak berulang. Di antara kedua ilmu itu terdapat pula ilmu sosial yang mencoba memahami gejala-gejala yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami keterangannya[1]. Sedangkan ilmu pengetahuan manusia berdasarkan kepada klasifikasi ilmu menurut objek ilmu pengetahuan terbagi pada tiga bagian. Yaitu; Ilmu-ilmu Alam, Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora.

Ilmu-Ilmu alam

Telah merupakan kenyataan yang tak tergoyahkan lagi bahwa pemikir ilmiah selalu berada di belakang setiap kemajuan yang dicapai oleh manusia dari masa kemasa. Langkah pertama dimulai ketika manusia menemukan bagaimana caranya belajar melalui cara mencoba-coba (trial and error), dan cara ini pada akhirnya membimbing manusia kepada pengetahuan yang ilmiah, yaitu pengetahuan yang melibatkan observasi dan eksprimentasi dan mencakup ilmu-ilmu kealaman dasar seperti Kimia, Fisika, Matematika, Astronomi, Geologi, Botani dan Zoologi, bersama dengan bentuk-bentuk terapannya dalam bidang pengobatan, pertanian, permesinan, farmasi, kedokteran hewan, dan lain-lain[2].
            Dalam sejarah ilmu pengetahuan, filsafat adalah pengetahuan yang pertama lahir. Dalam tema-temanya, filsafat inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang alam, sehingga para ahli filsafat pada waktu itu disebut  filosof alam. Seperti: Anaximandros, Anaximenes, Thales. Mereka memikirkan tentang alam besar (makro-kosmos) yang dimulai dari pertanyaan tentang asal alam[3]. Dari perkembangan filsafat muncullah disiplin ilmu lainnya yang relativ mandiri, seperti ilmu kealaman yang merupakan disiplin ilmu yang pertama sekali munsul dari perkembangan filsafat.
Ilmu kealaman yang disebut juga dengan “Natural Scienses” adalah ilmu yang mempelajari tentang susunan benda-benda serta perkembangannya[4].
Sumber dari ilmu ini adalah alam. Manusia yang merupakan makhluk Sapiens didorong oleh kebutuhan dan rasa ingin tahunya, mengerahkan kekuatan akalnya untuk menyingkap rahasia alam. Agar pengetahuannya itu dapat dipertanggungjawabkanb kebenarannya, maka dia menetapkan kriteria-kriteria yang benar yang disebut dengan metodologi ilmiah, yaitu menggabungkan cara berfikir deduktif dan induktif. Dengan cara yang seperti ini, maka manusia dapat menyingkap rahasia alam yang melahirkan berbagai disiplin ilmu. Seperti, Kimia, Fisika, Matematika, Biologi, Antropologi Fisik, Geologi, Astronomi, ilmu kedokteran[5] dan ilmu-ilmu alam lainnya.
Ilmu-ilmu kealaman disebut juga ilmu-ilmu eksakta (ilmu pasti) yang kebenarannya pasti, walaupun dalam kenyataan sosiologisnya bersifat kebenaran probabilitis. Yaitu sebuah teori keilmuan yang saat ini dianggap benar, namun besar kemungkinan pada saat yang  lain teori tersebut akan di tumbangkan oleh teori yang datang belakangan.
Inti dari ilmu kealaman ini adalah positivisme, sesuatu itu baru dianggap sebagai ilmu kalau dapat diamati (observable), dapat diukur (measurable) dan dapat dibuktikan (veriviable)[6].
Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan ia bersifat teleologis, sempurna dan teratur. Sebagai anugrah, alam adalah tempat yang baik dan tidak ternoda bagi manusia. Tidak ada jurang pemisah di alam. Tidak ada objek atau kejadian di alam ini terjadi secara kebetulan. Semua kejadian yang terjadi dengan sebab akibat yang dapat diperkirakan. Inilah sebabnya mengapa alam adalah kosmos yang nyata, bukan chaos yang membiarkan terjadinya sesuatu tanpa akibat, atau kadang-kadang berakibat, kadang-kadang tanpa akibat[7].
            Jadi jelaslah bagi kita bahwa di dalam Islam, alam merupakan ciptaan Allah untuk manusia. Manusia di suruh untuk memelihara dan melestarikan alam ini dengan baik dan tidak boleh merusaknya.

Ilmu-Ilmu Sosial

Ilmu-ilmu sosial dinamakan demikian, karena ilmu-ilmu tersebut mengambil masyarakat atau kehidupan bersama sebagai objek yang dipelajarinya. Ilmu-ilmu sosial belum mempunyai kaidah-kaidah dan dalil-dalil yang tetap yang diterima oleh bagian terbesar masyarakat, karena ilmu-ilmu tersebut belum lama berkembang. Sedang yang menjadi objeknya adalah  masyarakat manusia yang selalu berubah-ubah. Karena sifat masyarakat selalu berubah-ubah, hingga kini belum dapat diselidiki dan dianalisa secara tuntas hubungan antara unsur-unsur di dalam masyarakat secara mendalam[8]. Mengenai pengertiannya, menurut Dr. Nursid Sumaatmadja menjelaskan bahwa ilmu-ilmu sosial dapat diartikan sebagai semua  bidang ilmu pengetahuan yang mengenai manusia dalam konteks sosialnya atau sebagai anggota masyarakat[9].
Prof. Dr. P.J. Bouman mendefinisikan ilmu sosial sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari perhubungan-perhubungan sosial antara manusia dengan manusia, antara manusia dan golongan manusia, serta sifat dan perobahan-perobahan dari bangunan dan buah fikiran sosial. Ia berusaha mencapai sintesis antara ilmu jiwa sosial dan ilmu bentuk sosial, sehingga dapat memahami kenyataan masyarakat dalam hubungan kebudayaan umumnya[10].
Secara terminologi, ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial.[11] Adapun objeknya masyarakat dari sudut hubungan antara manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat.
            Ilmu-ilmu Sosial adalah bagian ilmiah tentang kehidupan sosial manusia yang berusaha mencari tahu tentang hakekat dan sebab-sebab dari berbagai pola pikiran dan tindakan manusia yang teratur dapat berulang. Berbeda dengan psikologi yang memusatkan perhatiannya pada karakteristik pikiran dan tindakan orang per-orangan, ilmu-ilmu sosial hanya tertarik kepada pikiran dan tindakan yang dimunculkan seseorang sebagai anggota suatu kolompok atau masyarakat.
            Namun perlu diingat bahwa ilmu-ilmu sosial adalah disiplin ilmu yang luas dan mencakup banyak hal, dan ada banyak jenis Sosiologi yang mempelajari sesuatu yang berbeda dengan tujuan berbeda-beda.[12]
            Selain itu, ilmu-ilmu sosial terminologikal juga diartikan sebagai studi sistematis mengenai keadaan kelompok dan masyarakat serta gejala-gejalanya yang saling berhubungan  dan saling mempengaruhi setiap tindakan. Ilmu-ilmu sosial tidak membahas individu, akan tetapi lebih kepada gejala-gejala sosial yang berdasar pada penjelasan sejarah, peristiwa dan kehidupan nyata.[13]
            Ilmu-ilmu sosial juga diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan, yakni antar hubungan di antara manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formil maupun materil, baik statis maupun dinamis.[14]
Untuk memperoleh suatu gambaran tentang ilmu sosial itu adalah dengan cara  menyusun kriteria sebagai berikut:
a. Perlu merinci isi ilmu sosial tersebut secara kongkrit.
b. Merinci apa yang dianggap sebagai sebab-sebab khusus dari Variabel-variabel tergantung.
c. Teknik-teknik apakah yang lazim dipakai oleh masing-masing ilmu pengetahuan untuk mendapatkan kebenaran atau untuk mencapai sacarannya. Hal ini mencakup metoda dan teknik penelitian tersebut11.

 

Ilmu-Ilmu Humaniora

Humaniora, tidak jauh berbeda dengan ilmu sosial, sebab dia juga menempatkan manusia sebagai objek kajiannya. Perbedaan yang sangat tipis antara ilmu sosial dan humaniora adalah, ilmu sosial mengakaji tingkah laku manusia dengan manusia lainnya ketika dia berinteraksi. Sedangkan humaniora adalah mempelajari aspek etis dari interaksi itu atau aktualisasi dari potensi manusia dalam wilayah fikiran, rasa, dan kemauan12.
Menurut Prof. Dr. T. Jasob, humaniora adalah Ilmu-ilmu “kejiwaan” (Geisteswissensshaften,”spiritual” scienses) dikurangi dengan ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu perilaku (sebagian), atau dengan lebih fositif, ia mencakup bahasa dan sastra, sejarah kebudayaan, filsafat dan etika, hukum serta agama (teologi). Dengan pendidikan intelektual maupun etika. Dengan perkataan lain, lebih luas dari pada pengajaran dan latihan. Dengan pendidikan manusia diproses menjadi manusia dewasa yang utuh untuk kehidupan, di samping dilatih menjadi tenaga kerja untuk penghidupannya; jadi dia dipersiapkan agar adabtable terhadap lingkungan masa depan. Tidak hanya untuk lingkungan masa kini13.
Ilmu-ilmu kealaman berbeda dengan ilmu-ilmu sosial dan Humaniora, meskipun objek kajiannya sama-sama alam. Alam yang diteliti oleh ilmu-ilmu kealaman adalah alam besar atau disebut juga makro-kosmos. Alam besar yang dimaksud adalah Bumi. Sedangkan alam yang dikaji atau diteliti oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora adalah alam kecil atau disebut dengan mikro-kosmos.

C.    Studi Islam Dalam Peta Kajian ilmiah
Sekarang mari kita melihat bagaimana Studi Islam dalam peta pengetahuan ilmiah. Kita mulai dengan menjelaskan apa maksud dari Studi Islam tersebut.
Studi Islam (Islamic studies= Dirasah al-Islamiyah) atau studi ilmiah tentang Islam adalah upaya pengkajian Islam dengan menerapkan metode ilmiah,  khususnya  dalam konteks sosial sains.
Objek ilmiah studi Islam sering diistilahkan dengan “Islam pada tiga tingkatan”. Memang studi-studi ke-Islaman tidak akan pernah terlepas dari salah satu tingkatan ini, baik pada tataran wahyu, pemahaman atau pemikiran dan pengamalannya dalam masyarakat.
            Islam sebagai wahyu adalah hal sudah tetap, yakni Islam seperti halnya yang tersebut dalam Alquran al-Karim. Maka memahami Islam sebagai wahyu adalah hal sungguh esensial dalam kajian-kajian ke-Islaman. Studi Tafsir Alquran al-Karim adalah salah satu contoh studi Islam pada tataran pertama.
            Pada tataran selanjutnya, yakni Islam sebagai pemikiran atau pemahaman, memberikan ruang kajian ilmiah yang tidak kalah luasnya dengan Islam sebagai wahyu. Banyak perdebatan-perdebatan antar kelompok-kelompok teologi merupakan perdebatan dalam tataran ke-dua ini. Contohnya adalah masalah tingkah laku seorang manusia, apakah ia mempunyai kehendak sendiri ataukah pekerjaannya sudah ditakdirkan oleh Allah SWT. Perdebatan dalam masalah ini ramai diperbincangkan oleh kaum Mu’tazilah, As’ariyah dan golongan lainnya.     Selain itu, mengkaji proses Mu’tazilah yang kemudian menganut paham free-will juga termasuk dalam kajian Islam sebagai pemikiran. Bagaimana kemudian memahami kata kutiba yang ada dalam ayat puasa kemudian diartikan menjadi wajib juga merupakan contoh dari studi Islam pada tataran ke-dua.
            Konsep kajian Islam sebagai pemikiran atau pemahaman adalah kajian yang berangkat dari sumber-sumber yang diakui  sebagai sumber-sumber Islam, seperti Alquran al-Karim, Hadist, Ijma’ dan lain sebagainya.
            Selain itu mengkaji Islam pada tataran ke-dua ini juga akan memberikan ruang untuk mengkaji Islam sebagaimana dipahami oleh suatu masyarakat. Contohnya seperti “konsep wihdatul wujud dalam Tarikat Naqsyabandiah, atau “syari’ah menurut MUI” misalnya dan lain sebagainya. Kajian Islam sebagai pemahaman akan menyediakan ruang studi yang sangat luas, seluas agama Islam menyebar di dunia.
            Sedangkan Islam pada tataran terakhir, yakni Islam sebagai pengamalan, juga memberikan ruang kajian ke-Islaman yang sungguh luas. Konsep kajian Islam sebagai pengamalan berangkat dari pertanyaan dasar: bagaimanakah suatu masyarakat mengamalkan Islam?. Dari kajian ke-Islaman pada tingkat ke-dua dan ke-tiga inilah kemudian nantinya muncul studi wilayah, yakni memahami Islam pada suatu masyarakat, daerah, bangsa atau etnis Islam.
            Salah satu perbedaan antara Islam sebagai pemahaman dengan Islam pada pengamalan adalah aktualisasiya pada kehidupan. Karena bisa saja suatu pemahaman tentang Islam tidak teraplikasikan dalam pengamalan, atau malah bertentangan dengan fakta.
Contoh kajian pada tataran ini adalah “pengaruh konsep wihdatul wujud pada aliran Tarikat Naqsyabandiah”,  atau “mazhab Ciputat” dan lain sebagainya.         Dalam kajian-kajian ke-Islaman, tiga tataran ini memang perlu dijelaskan agar tidak terjadi kesalah-pahaman antara pengkaji dengan pembacanya.
Objek kajian studi Islam ini juga memenuhi persyaratan yang diterapkan kepada ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, dapat diobeservasi, dapat diteliti kembali kebenarannya, dapat diuji intersbujektif dan inter-disiplin.
Studi Islam mempunyai kerangka kerja, kerangka teoritis, pembahasan masalah, penyelesaian masalah, inquiry, hipothesis dan kesimpulan. Perangkat langkah-langkah metodologis yang merupakan syarat keilmiahan sebuah kajian telah dipenuhi oleh studi Islam.
Studi Islam juga memakai beberapa pendekatan tertentu dalam kajiannya layaknya ilmu-ilmu lainnya. Objek-objek studi Islam bisa didekati dengan pendekatan sosiologis, antropoligis, psikologis dan lain sebagainya.
Studi Islam telah memenuhi syarat-syarat untuk dapat dikatakan ilmiah artinya studi Islam telah menempati jajaran dan peta kajian-kajian ilmiah lainya. Dengan begitu diharapkan para pengkaji ke-Islaman bisa mempertahankan keilmiahan kajiannya, hingga Islam bisa dipahami dengan lebih objektif, universal dan humanis.
Meski demikian, ternyata ada juga beberapa kendala menurut beberapa golongan yang mengakibatkan studi-studi ke-Islaman pada beberapa kajian tidak bisa dipandang sebagai ilmiah, dan tentu saja pendapat mereka itu juga disanggah oleh beberapa golongan lainnya. Seperti studi sastra Islam-dan memang juga merupakan problem yang dihadapi oleh studi sastra pada umumnya- misalnya, kajian-kajian tentang sastra dipandang tidak bisa mempertahankan keilmiahannya karena tidak bisa melengkapa beberapa syarat-syarat keilmiahan seperti pengujian intersubjektif dan lain sebagainya.
Selain itu, bagi para pengkaji Islam yang shaleh-shaleh dalam pengertian tradisional-, dalam beberapa objek, terdapat keterasingan dalam mengkaji Islam bila ingin menjadikan kajian tersebut memenuhi syarat ilmiah yang diajukan oleh para sarjanawan ilmu-ilmu lain. Seperti Sejarah Islam, bagi pengkaji muslim, sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dari wahyu, bahwa kepintaran dan kebijakan Muhammad tidak semata-semata hasil dari usahanya dalam bermasyarakat akan tetapi juaga merupakan bimbingan tuhan. Disinilah persoalan kemudian muncul karena syarat “keilmiahan” sebuah kajian tidak bisa menerima sesuatu tanpa ada sumber yang bisa dibuktikan dalam pandangan mereka, khususnya dalam pemahaman sarjanawan Barat.
Akan tetapi tentu saja hal ini dapat dibantah bahwa kerangka dan langkah-langkah metodologi sebuah kajian tidak harus sama dengan kajian lainnya. Islam mengakui wahyu, ilham dan intuisi sebagai sumber pengetahuan sementara aliran rasionalis tidak mengakuinya. Aliran rasionalis harus lebih rendah hati dan sadar bahwa mengkaji Islam dalam segala aspeknya tidak akan bisa dilepaskan secara total dari wahyu, agar sebuah kajian ke-Islaman dapat menghasilkan kesimpulan yang lebih mendekati kebenaran.
Karena studi Islam berobjek kepada tiga tataran objek kajian seperti yang dikemukakan diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa kebanyakan studi Islam masuk dalam bagian ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora. 

D.   Pendekatan Inter-disiplin dan Multi-disiplin
Ketiga tataran objek kajian ke-Islaman seperti yang dipaparkan diatas bisa dikaji dengan dengan menggunakan beberapa pendekatan seperti pendekatan historis, sosiologis, antropologis, psikologis, pendekatan wilayah, fenomenologis, komparatif dan post-modernisme.
Interdisiplin pendekatan akan terjadi bila sebuah objek sebuah displin ilmu didekati dengan pendekatan disiplin ilmu lainnya, sebut saja gabungan pendekatan sosiologis dan historis, atau sosiologis dengan psikologis. Contoh kajian yang menggunakan dua pendekatan adalah sosiologi sastra dimana ilmu kesustraan didekati dengan pendekatan sosiologis, kajian ini akan mempelajari aspek-aspek sturuktur masyarakat dalam sebuah karya sastra, sejarah sosial ummat Islam. Politik hukum Islam, dan lain sebagainya.
Seperti yang dipaparkan diatas bahwa objek kajian-kajian ke-Islaman bisa didekati dengan beberapa pendekatan. Aspek hukum Islam bisa didekati dengan pendekatan psikologis atau sosiologis atau fenomenologis. Interdisplin ini sungguh berguna bagi kajian-kajian ke-Islaman, karena sebuah objek kajian akan dapat dipahami dengan lebih detil, dan seringkali kajian ke-Islaman yang menggunakan sebuah pendekatan tidak bisa menjelaskan sebuah penomena, lalu bisa dijelaskan dengan kajian yang mengambil objek yang sama tapi dengan menggunakan pendekatan yang berbeda.[15]
Sejarah Islam saja tidak akan bisa menjelaskan kenapa Ali tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk tidak berdamai dengan Mua’wiyah pada kejadian tahkim, kenapa para Qurra (pendukung dan tentara Ali) memaksa untuk berdamai, padahal ia adalah pemimpin sah, menantu dan sepupu Rasul, termasuk orang paling dihormati, pintar dan termasuk salah satu orang yang paling dahulu masuk Islam, kecuali bila didekati dengan pendekatan sosiologis. Kajian sejarah sosial ternyata bisa menjelaskannya dengan baik dengan mengemukakan bahwa ternyata pendukung Ali adalah orang-orang Arab Selatan yang tidak pernah hidup  dengan administrasi negara yang mapan, selalu terjadi pergantian pemimpin dalam kurun waktu yang singkat, badui, dan hidup miskin.[16]
Sedangkan multi-displin akan muncul bila sebuah kajian sebuah disiplin ilmu didekati dengan dua pendekatan displin ilmu yang berbeda. Seperti hukum didekati dengan sejarah dan sosial yang kemudian menghasilkan kajian sejarah sosial hukum Islam.
Seperti dengan interdisiplin ilmu, multi displin ini juga sangat berguna dalam menjelaskan sebuah fakta. Sebagai contoh, ilmu hukum Islam tidak membahas bagaimana hukum tersebut berkembang, lalu untuk menjawab pertanyaan itu maka digunakanlah pendekatan interdisiplin yakni sejarah hukum Islam, akan tetapi juga sejarah hukum Islam tidak bisa menjelaskan kenapa  tiba-tiba muncul Bukhori, Muslim, Abud Daud dan sebagainya yang dengan begitu semangat menghabiskan hidupnya untuk mencari hadist langsung kepada “sumbernya”. Lalu untuk menjelaskan fakta sejarah tersebut kajian sejarah hukum ini kemudian didekati dengan pendekatan sosiologis yang kemudian berhasil menjelaskan bahwa ternyata setelah Syafi’I mendapatkan kondisi hukum yang didasarkan pada sumber yang tidak bisa dibuktikan keasliannya kepada nabi, maka Syafi’ipun merumuskan u¡ul fikihnya dengan menyatakan bahwa hukum harus mempunyai sumber yang bisa dibuktikan berasal dari Alur’an atau Hadist, sementara pada saat itu hadist yang terbukti berasal dari Rasul sungguh sedikit, kebanyakan hanya opini bahwa sebuah perkataan yang mereka pakai sebagai sumber adalah hadist karena Rasul pasti mengatakan hal-hal baik.[17] Dengan pengaruh Syafi’I masyrakat hukumpun berubah dan menginginkan hukum yang orisinil, dan hukum yang orisinil harus berdasarkan sumber yang terbukti orisinil, maka tidak lama kemudian muncullah orang yang dengan semangatnya mau mengumpulkan hadist dengan segala pembuktian keasliannya.
Suatu disiplin ilmu memiliki otonom di dalam dirinya, namun karena gejala kehidupan yang dideskripsikan dan dijelaskan oleh ilmu tersebut merupakan satu kesatuan yang kompleks, serta tingkat perkembangan dan kemampuan disiplin itu bervariasi, disiplin ilmu itu tidak dapat melepaskan diri dari bantuan dan kerjasama dengan ilmu lain. Terlebih bila gejala kehidupan itu akan dijelaskan secara komprehensif, maka terjadi adhesi dan kohesi, bahkan integrasi antar disiplin ilmu.
Berkenaan dengan hal itu, penelitian antar disiplin merupakan penggabungan unsur informasi dan unsur metodologi dari dua atau lebih disiplin ilmu dalam suatu program atau kegiatan penelitian. Adapun penelitian multi-disiplin merupakan kegiatan penelitian menurut disiplin ilmu masing-masing, kemudian digabungkan secara eksternal sebagai satu kesatuan16. Pengkajian Islam secara sintetik yang berorientasi pada tranformasi psikologi telah berkembang pada pengkajian-pengkajian secara analitik yang berfungsi pada level yang objektif untuk transformasi kemasyarakatan.
Hanna Djumhana Bastaman memberikan beberapa pola pemikiran “Islamisasi sains” berkaitan dengan inter-disiplin dan multi-disiplin sebagai berikut :

a. Similarisasi        : Penyamaan konsep.
b. Paralelisasi        : Memparalelkan konsep.
c. Komplementasi : Saling memperkuat satu sama lain.
d. Komparasi         : membandingkan konsep atau teori.
e. Induktivikasi     : Menghubungkan prinsip agama kepada asumsi-asumsi.
f. Verifikasi            : Pembuktian kebenaran agama oleh suatu hasil penelitian17.





E.    Kesimpulan
Studi Islam dengan segala perangkatnya telah berhasil atau paling tidak sedang dalam usaha untuk membuktikan diri secara total untuk bisa diakui sebagai kajian ilmiah. Sebagian besar Studi Islam ini masuk pada bagian ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
            Problem keilmiahan studi Islam berkaitan dengan perangkat-perangkat yang bersifat metodologis seperti objek, kerangka kerja, kerangka teoritis, pendekatan, inquiry, perumusan masalah, dan sebagainya.
Untuk bisa mempertahankan keilmiahan kajian ke-Islaman, maka seharusnyalah pengkaji-pengkaji ke-Islaman mempunyai langkah-langkah dan perangkat metodologis yang jelas yang bisa dipertanggung-jawabkan.
            Objek-objek kajian-kajian ke-Islaman bisa didekati dengan berbagai macam pendekatan dan berbagai disiplin ilmu yang kemudian menghasilkan interdisplin dan multi-displin ilmu. Hal ini sungguh berguna dalam menjelaskan fakta-fakta yang terjadi dalam objek kajian-kajian ke-Islaman.











Daftar Pustaka

An-Nadwi, Abul Hasan, Kehidupan Nabi Muhammad, terj Yunus Ali Muhdhar. Semarang: As-Syifa,1992.

Basri, Cik Hasan, TradisiBaru Penelitian Islam; Tinjauan antar disiplin ilmu, M. Deden Ridwan, ed,. Bandung, t.p., 2001.

Bouman, P.J., Ilmu Masyarakat Umum, Pengantar sosiologi, terj. Jakarta: PT. Pembangunan, 1961.

Gelles, Richad J. -Ann Levine, Sociology An Introdution. USA: University Of Rhode Island, 1995.

Hasbullah, Moeflieh, gagasan dan perbedaan; Islamisasi Ilmu Pengetahuan, ed. Pustaka Cidesindo, Jakarta, 2000.

Hatta, Mohammad, Alam Pemikiran Yunani. Jakarta: Tintamas, 1982.

Hodgson, Marshall, The Venture Of Islam, jil. I. Chicago: Chichago University Press,  1974.

Jacob, T., Manusia, Ilmu, dan Teknologi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1988.

Lapidus, Ira.M., A History Of Islamic Society. Cambridge University Press, New York, 1993.

Maijor Polak, Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1991.

Ma’arif,  A. Syafi’i, ISLAM, Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat, Cet., I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Mudzhar, Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Cet., VI. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

National Commission For UNESCO, Islam and Arab Contribution To The European Renaisance. Egypt: 1977. Edisi Indonesia, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan,Cet., I . Bandung: Pustaka, 1986.

R. Al-Faruqi, Ismail, Islam and Cultur.Terj. Bandung: Mizan, 1989.

Rahman, Afzalur,Quranic Science. Edisi Indonesia, Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan,Cet., II.. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992.

Saifuddin Ansari, Endang, Kuliah Al-Islam. Jakarta: PT Grafindo Persada, 1992.

Sandersson, Steven K., Sosiologi Makro, terj. Hotman M. Siahaan. Jakarta: Raja Grafindo Persada: 1995.

Schacht, Joseph,  An Introduction To Islamic Law. Inggris: Oxford Press, 1971.

Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Sumaatmadja, Nursid, Pengantar Studi Sosial, Cet., IV. Bandung: Penerbit Alumni, 1986.

Tim MGMP, Sosiologi SUMUT, Sosiologi.Medan: Kurnia, 1999.


[1] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Cet., VI (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 12
[2]  National Commission For UNESCO, Islam and Arab Contribution To The European Renaisance (Egypt: 1977). Edisi Indonesia, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan,Cet., I (Bandung: Pustaka, 1986), h. 165
[3]  Mohammad Hatta, Alam Pemikiran Yunani,(Jakarta: Tintamas, 1982), h. 5
[4] Afzalur Rahman,Quranic Science. Edisi Indonesia, Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan,Cet., II. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), h. 71
[5] Endang Saifuddin Ansari, Kuliah Al-Islam. (Jakarta: PT: Grafindo Persada, 1992), h. 13
[6] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, h. 13
[7] Ismail R. Al-Faruqi, Islam and Cultur.Terj. (Bandung: Mizan, 1989), h. 48-49
[8] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet., 34 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 12
[9] Nursid Sumaatmadja, Pengantar Studi Sosial, Cet., IV (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), h. 22
[10] P.J. Bouman, Ilmu Masyarakat Umum, Pengantar sosiologi, terj. (Jakarta: PT. Pembangunan, 1961), h. 13
[11] Tim MGMP, Sosiologi SUMUT, Sosisologi (Medan: Kurnia, 1999) h. 3.
[12] Steven K. Sandersson, Sosiologi Makro, terj. Hotman M. Siahaan (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 1995) h. 2.
[13] Richad J. Gelles-Ann Levine, Sociology An Introdution (USA: University Of Rhode Island, 1995), h. 5.
[14] Maijor Polak, Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1991), h. 7.
11 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar,, h. 13
12 A. Syafi’i Ma’arif, ISLAM, Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat, Cet., I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 45
13 T. Jacob, Manusia, Ilmu, dan Teknologi. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1988), h. 68
[15] sebuah karya monumental dalam kajian sejarah dengan menggunakan pendekatan sosiologis adalah karya Ira.M.Lapidus, A History Of Islamic Society (Cambridge University Press, New York, 1993), dalam beliau ini kita akan mendapatkan data-data yang mengagumkan
[16] Abul Hasan An-Nadwi menjelaskan fakta ini dengan baik dengan menggunakan pendekatan sosial-hsitoris, Kehidupan Nabi Muhammad, terj Yunus Ali Muhdhar (Semarang: As-Syifa,1992) h. 608

[17] kajian hukum dengan pendekatan sosiologis dan historis dengan baik dilakukan oleh Marshall Hodgson dalam sub-bab kajiannya The Shar’i Vision dalam  The Venture Of Islam, jil. I. (Chicago: Chichago University Press,  1974), h. 174, juga oleh Joseph.Schacht dalam, An Introduction To Islamic Law (Inggris: Oxford Press, 1971), h. 15-dst.
16 Cik Hasan Basri, TradisiBaru Penelitian Islam; Tinjauan antar disiplin ilmu, M. Deden Ridwan, ed, (Bandung, 2001), h. 53
17 Lihat buku gagasan dan perbedaan; Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Moeflieh Hasbullah ed. (Pustaka Cidesindo, Jakarta, 2000), h. 269